Senin, 10 Desember 2007

Pidato Pramoedya di Magsaysay

February 7, 2005

Sastra, sensor dan negara: Seberapa jauh bahaya bacaan?

Oleh: Pramoedya Ananta Toer *)

Saya warganegara Indonesia dari etnik Jawa. Kodrat ini menjelaskan, bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang didominasi oleh sastra wayang, lisan mau pun tulisan, yang berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, serta
kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada kewibaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta- kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali.

Pekerjaan pokok kasta satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria, yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan para raja menjadi mitos yang fantastik.

Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan
kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional.

Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mytos ini melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi
batin rakyat Mataram.

Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungan dengan negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan kastanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya adalah menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang
tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Pendapat ini yang membuat saya meninggalkan sama sekali sastra demikian.

Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, sejauh pengalaman saya, langsung saya bertemu dengan sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya peerhatian pada kekuasaan negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa
pembacanya berhenti di tempat.

Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya dianggarkan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi.

Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap dan sitiuasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak.

Sampai di sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevalusi kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan, bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah dikatakan pengarang - dengan sendirinya dari golongan ketiga ini - dinamai opposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang diri dalam kebisuan.

Di negara-negara dengan kehidupan demokratis beratus tahun kalah- menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang dijajahnya. Sebagai akibat di negeri-negeri jajahannya yang tak mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa dilahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional tentang gengsi pribadi dan panutan patrimonial.

Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade kedua abad ini. Sebelumnya atas karya sastra sensor lebih banyak ditujukan pada mass-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan.

Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum, dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat- setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.

Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan.

Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim terdesak kekuatan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa yang agraris kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot. Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "teposliro" (tahu diri),
kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai pada puncak kekuasaan. Penggunaaan eufemisme (= Jawa : kromo) sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan
menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi. Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra Indonesialah sensor kekuasaan bisa terjadi.

Ide-ide dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat modern Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa. Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya lembaga sensor memang perlu diadakan.

Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia di Jawalah penduduknya berkembang sebagai faktor-faktor klimatologis yang mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis
Belanda membuat Jawa jadi pusat imperium dunianya di luar Eropa. Dengan kepergiannya, masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat dihindarkan.

Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa menekan ini adalah "tepo-sliro", kehidupan kekuasaan sekarang dinamai dengan bahasa Inggris "self-cencorship". Nampaknya elite kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi
salah satu faset dalam kehidupan modern Indoensia bagaimana orang menyembunyikan atavitas/atavisme.

Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam sastra avant garde. Saya nilai pengarangnya mempunyai keberanian mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus
menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang merasa terancam kemapanannya.

Jadi sampai seberapa jauh karya sastra dapat berbahaya bagi negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia ditulis dengan nama jelas, diketahui dari mana asalnya, dan juga
jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan kekenyalannya.

Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant garde. Perubahan demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian
demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan peralihan pendudukan militeristis Jepang.

Dalam masa demokrasi liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila yang tak
banyak acuhkan, dalam masa demokrasi terpimpin, sewaktu Presiden Soekarno dengan segala konsekuensinya hendak mandiri dan mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingin para adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat.

Soekarno sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen, Declaration of Independence Amerika Serikat, dan Manifes Komunis dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang ditandai dengan gerakan de-Soekarnoisasi, rujukan-rujukan pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada upaya dari seorang sejarawan orde baru yang mebuat teori bahwa pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan ini tidak pernah terbukti ada karya sastra yang memberikan
pengaruhnya.

Dan memang sastra avant garde praktis belum pernah lahir. Karya-karya sastra Indonesia praktis baru bersifat deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir itu terjadi semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang terjadi sama kerasnya dengan penindasannya. Individu tersebut, Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah
Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironisnya masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak
tersebut dan umumnya tak dikaitkan dengan masa pendudukan militeris Jepang waktu ia menciptakannya.

Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya percaya bicara tentang sastra mana pun adalah juga bicara -walau tak langsung- tentang sastra regional dan internasional sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman umat manusia.

Berdasarkan historinya Indonesia memerlukan sebarisan besar pengarang dari golongan avant garde. Berabad lamanya rakyat bawah membiayakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme mereka kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau
feodalime sebagai suatu sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elite kekuasaan mencoba melestarikannya. Sstra avant gardelah yang menawarkan evaluasi, reevalusi, pembaruan, dan dengan sendirinya keberanian untuk menanggung resikonya sendirian.

Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant garde hanya mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkaran elit kekuasaan, yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa
terlepas.

Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya selama 35,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun dirampas kekuasaan militer semasa orde lama, dan 30 tahun semasa orde baru, di antaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16 tahun sebagai ternak juga hanya dengan kode ET, artinya tahanan di luar penjara. Sebagai pengarang barang tentu saya berontak terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini?

Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan.

Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa
seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi suatu kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik. Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada
kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan umat manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan dengan politik.

Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di tangan dan dari hati politisi yang kolot. Kalau ada yang kotor barang tentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sastra
sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari pikiran para pengarang yang politiknya adalah tidak berpolitik. Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian, ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana
eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang "menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.


*Pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika menerima penghargaan Magsaysay, di Manila.

lucu-lucuji kodong

Membaca Surat Nikah

Sepasang suami istri baru saja bertengkar selama beberapa waktu.
Setelah hati dan kepala mulai dingin, si istri menghampiri suaminya yang sedang melihat-lihat surat kawin mereka, "Apa yang sedang kamu lakukan?"
Si suami mencoba menyembunyikan dokumen yang ada di tangannya dan berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa."
Si istri yang telah melihat dokumen itu, sangat kecewa. "Tidak melakukan apa-apa? Aku melihatmu membaca surat kawin kita. Mengapa kamu berbohong! Kamu sudah mengamati surat kawin itu, dari atas sampai bawah, dibolak-balik lagi! Untuk apa itu?"
Merasa kesal, si suami berkata, "Baiklah jika kamu ingin tahu. Dari tadi aku sedang mencari tanggal kadaluarsa surat kawin ini!"


Lebih Satu


Dino punya adik yang masih duduk di kelas 2 SD, namanya Ary. Tapi ada yang aneh pada diri Ary dan membuat Dino tak habis pikir. Pasalnya, Ary selalu menjawab pertanyaan matematika dengan melebihkannya satu anga (5+5=11, 4+4=9....dst). Selain itu, dia selalu menghitung soal matematika-nya dengan tangan di dalam saku celananya. Aneh ya....
Belakangan Dino akhirnya tahu kenapa begitu lalu tertawa sendiri.
Ternyata kedua saku celana asiknya bolong, jadi pasti lebih satu terus jawaban soal matematikanya.....


Kurang Satu


Suatu hari di sekolah, Aryo ditest matematika oleh gurunya
Guru: Aryo, 5+4 berapa?
Aryo: 8 Bu
Guru: Kalau 3+5 berapa?
Aryo: 7 Bu
Guru:Kenapa sih jawabanmu selalu kurang satu?
Aryo: Soalnya jempol saya sakit, ngga bisa diangkat, jadi selalu kurang satu
Guru: ?????????


Si Bujang Mencari Istri

Seorang bujang mau menikah bertanya kepadaku soal tipe calon istrinya.
Bujang: Pak Pram, saya mau menikah.
Pram : Siapa calon istrimu...?
Bujang: Belum ada, makanya saya bertanya.
Pram : Baik, saran saya jangan cari istri sales atau perawat.
Bujang: Kenapa Pak...?
Pram : Kalau sales punya kebiasaan dalam hal tawar-menawar, nanti kebawa saat malam pengantin. Mau bayar segitu, kalau enggak ya udah. Kalau perawat, awas jangan banyak gerak, nanti kumat lagi. Awas jangan turun dulu, nanti saya suntik mati kamu.
Bujang: Lalu saya musti memilih siapa...?
Pram : Guru tari aja.
Bujang: Guru tari, kenapa...?
Pram : Kebiasaan di sanggar tarinya, akan terbawa sampai saat di malam pengantin. Awas hati-hati kalian, yang di depan luruskan. Bagus sekali Mas, ayo kita ulangi lagi, pinter.....


Kecelakaan pesawat

Sebuah pesawat yang sedang mengangkut 100 penumpang mengalami kecelakaan terjatuh di laut. Dari 100 penumpang hanya tiga yang selamat. Yang pertama berasal dari Inggris. Yang kedua berasal dari Prancis. Yang ketiga dari Indonesia. Mereka bertiga terapung-apung di tengah lautan sambil menanti pertolongan.
Namun tiba-tiba keluarlah seorang jin penunggu lautan tersebut dan berkata pada tiga orang tadi bahwa masing-masing akan dikabulkan satu permintaannya.
Orang Inggris meminta pada jin, "Om jin, saya adalah anggota parlemen di London. Kehadiran saya sangat dibutuhkan, maka kembalikan saya ke sana."
Dan dalam sekejap orang tersebut menghilang.
Orang Prancis meminta kepada jin, "Om jin, saya seorang direktur sebuah perusahaan. Kehadiran saya sangat dibutuhkan juga, maka kembalikan saya ke Paris."
Dan dalam sekejap orang Prancis pun menghilang.
Tiba giliran orang Indonesia ia berkata, "Waduh Om jin, koq jadi sepi di sini yah... tolong balikin dua teman saya tadi."
Dan sekejap dua orang tadi pun kembali di situ dan om jin pun menghilang.


Permintaan Terakhir
Terpidana Mati

Pada suatu hari seorang terpidana akan di eksekusi hukuman mati karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan berantai.
Sebelum terpidana tersebut di eksekusi oleh regu penembak, seorang kepala regu penembak menanyakan permintaan terakhir sang terpidana.
"Apa permintaan terakhir kamu sebelum ditembak mati?" tanya kepala regu pada terpidana.
"Tolong senapannya diarahkan ke orang lain, Pak!" jawab sang terpidana.

Kamis, 06 Desember 2007

Berawal dari Bushehr Project

Oleh: Buyung Maksum

25 MARET 2007, para perwakilan 15 anggota Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menyetujui sanksi terhadap Iran. Keputusan yang ditempuh melalui proses pemungutan suara itu menyetujui rancangan resolusi sanksi yang dibuat oleh Inggris, Prancis, dan Jerman itu. DK sepakat, maka jatuhlah Resolusi dengan nomor 1747 itu. Resolusi ini sekaligus menambah sanksi terhadap Iran, karena negara tersebut dianggap tidak mematuhi Resolusi Nomor 1737 tertanggal 23 Desember 2006. Resolusi No 1737 berisi kewajiban Iran untuk menghentikan upaya pengayaan uranium dalam rangka pengembangan nuklir.

Dalam jangka waktu 60 hari sejak disahkan resolusi 1737 itu, Iran diharuskan menghentikan kegiatan pengembangan nuklirnya. Tetapi, Iran menolak penghentian upaya pengayaan uranium, dengan argumentasi bahwa upaya mereka untuk kepentingan damai. Sebagai negara penandatangan NPT Nuclear alias Non-Proliferation Treaty (NPT), Iran merasa berhak mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Pemaksaan penghentian program nuklir Iran ini memang seolah tak adil. Sebab jika alasan keamanan di kawasan Timur Tengah, maka seharusnya negara-negara adidaya juga menjatuhkan sanksi terhadap Israel. Sebab di saat bersamaan, Israel juga sedang berupaya membangun program nuklir di negaranya.

Program nuklir bagi Iran bukanlah hal baru, terutama untuk sumber daya alternatif. Program seperti ini sudah digagas sejak tahun 1950-an. Saat itu, Iran menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) untuk pengembangan program nuklir guna pembangunan power plant. Melalui program pengembangan nuklir Iran ini, AS akan diuntungkan sedikitnya USD6 miliar.

Proyek nuklir pertama kali ini (Bushehr Project) dikembangkan dengan menggunakan teknologi dari Jerman. Proyek itu melakukan desalinasi air laut bagi pemenuhan kebutuhan air bersih untuk konsumsi harian dan irigasi di provinsi Bushehr. Saat itu hampir 90 persen proyek tersebut selesai dan 60 persen instalasi telah terpasang.

Namun, pada tahun 1979 program itu terhenti akibat terjadinya revolusi Iran yang menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi. Program itu kemudian tidak jelas, akibat adanya perang Irak-Iran yang mengakibatkan rusaknya power plant tersebut.

Program pengembangan nuklir ini kemudian dilanjutkan pada tahun 1995 dengan bantuan Rusia. namun saat itu, Iran telah mendapat tekanan dari AS untuk tidak melanjutkan program pengembangan nuklirnya. Sampai tahun 2005, proyek Bushehr belum selesai, padahal kebutuhan Iran akan energi terutama untuk pemenuhan tenaga listrik semakin mendesak. Apalagi Iran berharap pada 2010 sudah menghasilkan 6.000 megawatt listrik.

Sejatinya, rencana pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai ditunjukkan dengan adanya penandatanganan pemerintah Iran terhadap NPT pada 1968, yang kemudian diratifikasi oleh Parlemen Iran pada 1970. NPT mengakui ada tiga pilar dalam perjanjian itu. Pertama, yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir hanya lima negara, yaitu: Prancis, Tiongkok, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima negara itu tidak diperkenankan mentransfer teknologi senjata nuklir ke negara lain. Mereka juga sepakat untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-senjata nuklir.

Kedua, NWS didorong untuk merencanakan pengurangan persediaan senjata nuklir mereka di bawah kontrol internasional. Ketiga, negara penandatangan NPT mempunyai hak menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Dengan berdasar pilar ketiga inilah tampaknya Iran ingin mengembangkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka.

Dari catatan ini terlihat bahwa sah-sah saja jika Iran ngotot dengan pengembangan nuklirnya. Apalagi di Asia ada beberapa negara yang sudah mengembangkan nuklir. Bahkan mereka sudah mengembangkan senjata nuklir, yaitu India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. India pertama kali melakukan percobaan senjata nuklirnya pada tahun 1974. Pakistan melakukan hal yang sama pada tahun 1998. Diperkirakan India mempunyai lebih dari 150 hulu ledak nuklir. Pakistan mempunyai sekitar 60 hulu ledak nuklir. Sedangkan Israel yang mengembangkan senjata nuklir di wilayah Dimona, Nagev, sejak tahun 1958, mempunyai simpanan senjata nuklir cukup banyak, 100-200 hulu ledak nuklir nuklir.

Namun sikap dunia internasional, khususnya AS, terhadap negara-negara ini berbeda dengan sikap terhadap Iran. Jika kepada empat negara Asia dan Israel, AS melemah, tapi khusus bagi Iran negara adidaya itu melakukan pendekatan terhadap pemegang veto DK PBB untuk memberikan sanksi. Resolusi DK PBB Nomor 1737 yang dikeluarkan pada 23 Desember 2006 adalah keberhasilan AS.

Indikasinya, salah satu klausul dalam resolusi tersebut adalah keharusan Iran untuk menghentikan kegiatan pengayaan uranium dalam 60 hari setelah resolusi. Bila tidak, maka akan ada sanksi, tetapi tidak disebutkan sanksi militer.

Berpedoman pada pilar ketiga NPT, maka Iran tidak mau menghentikan pengayaan itu. Akibat sikap Iran itu, maka AS bersama sekutunya semakin meningkatkan tekanan dan hasilnya adalah DK PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1747. Sayangnya, Indonesia yang katanya punya sikap politik luar negeri bebas aktif, ternyata juga ikut-ikut memberi dukungan terhadap resolusi itu. (***)

Minggu, 02 Desember 2007

Bukan Sembarang Waria

Komunitas Bissu di Bone (1)



BADANNYA memang kekar, namun, langkah dan gerak-geriknya lemah-gemulai bak wanita. Itulah bissu. Namun, jangan sekali-kali menyebut dan memanggil mereka waria, mereka tidak suka, bisa-bisa Anda akan dilempari dengan sandal. Begitulah peringatan seorang teman yang mengerti betul soal bissu.

LAPORAN: ASWAD SYAM

ANGEL membenahi peralatan pengantinnya saat saya bertandang ke kediamannya di Jl Pisang, Kelurahan Macege, Tanete Riattang Barat, Bone, awal September 2007 lalu. Maklum, waria yang memiliki nama asli Syamsul Bahri ini, di samping sebagai bissu, juga berprofesi sebagai "wedding organizer" di Bone. Tidak sedikit pasangan pengantin yang menggunakan jasanya untuk didandani agar kelihatan cantik saat duduk di pelaminan.

Bissu umumnya memiliki pengetahuan soal mantra pemikat, seperti, "naga sikoi" dan "cenning rara". Angel merupakan satu-satunya di Bone yang sudah menjalani prosesi dan ritual untuk menjadi bissu. Menurutnya, seorang bissu bukanlah waria sembarangan. Secara fisik dan gerak-gerik kata dia, bissu memang mirip dengan waria lainnya.

Namun dari sisi perilaku, mereka sangatlah berbeda. Untuk menjadi bissu kata Angel, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang, dan harus betul-betul panggilan nurani, juga seorang waria harus siap meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Agar mental itu betul-betul siap, seorang waria diharuskan magang di bissu-bissu tua yang digelari Puang Matoa atau Puang Lolo.

Setelah mentalnya siap menjadi bissu lanjut Angel, barulah dia menjalani prosesi Irebba (dibaringkan), yang dilakukan di loteng bagian depan pada Rumah Arajang. Waria yang akan dilantik menjadi bissu kata Angel, diwajibkan berpuasa selama sepekan hingga 40 hari. Setelah itu, bernazar (mattinja') untuk menjalani irebba selama beberapa hari, biasanya tiga atau tujuh hari. Lalu dia dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air.

Selama disemayamkan sesuai nazarnya, calon bissu dianggap dan diperlakukan sebagai orang mati. Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang sedang irebba. Setelah melewati ritual sakral itu, seorang waria resmi menjadi bissu. Sejak itu, seorang bissu tampil anggun (malebbi) dan senantiasa berlaku sopan.

"Saat itu juga, bissu yang baru menyelesaikan prosesi irebba, akan mendapatkan nama langit," ungkap Angel yang memiliki nama langit Sessung Riu'.

Bissu adalah sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno, sebelum pengaruh Islam masuk. Bissu, berasal dari kata Bessi, yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih.

Pada masa kerajaan Bone, Bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis. Sebagai penasihat spiritual kerajaan, seorang Bissu bukanlah orang sembarangan. Setelah resmi menyandang gelar Bissu, seseorang mulai belajar. Di antaranya mempelajari berbagai mantera, serta harus menguasai 40 cara melipat daun sirih (rekko' ota patappulo). Juga harus menguasai "memmang" (bahasa dewata), karena sebagai penasihat spiritual kerajaan, bissu bertugas menghubungkan alam manusia dengan alam dewata.

Sejatinya, lanjut Angel, walaupun Bissu ini adalah lelaki yang memiliki figur feminin, namun tidak boleh identik dengan perempuan. Sehingga unsur lelaki harus tetap ada, seperti memelihara janggut. Anting tetap boleh dipakai, namun ketika melakukan upacara ritual, anting itu harus dilepas. (*)

Jumat, 30 November 2007

Tiga Kebesaran Warisan Syekh Mukmin

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (1)

MASJID Assyuhada, Alquran tulisan tangan, dan makam Syekh Haji Mukmin, menjadi penanda kebesaran Bugis di salah satu gugusan Pulau Dewata.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

INTRO lagu "Welcome to My Paradise" milik Steven and Coconut Treez melantun manis dari sebuah radio transistor penduduk ketika Fajar menjejakkan kaki di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Bali, Sabtu 8 Mei lalu. Pulau ini memang seolah menjadi surga bagi orang-orang Bugis dan pemeluk Islam di seantero rangkaian Pulau Dewata.

Berpasir putih dan menjadi idola para surfer (peselancar, Red) di musim hujan. Antara bulan Oktober hingga April, angin timur membuat gulungan ombak di pulau sebelah selatan Bali ini membangkitkan andrenalin surfer. Tapi di musim kemarau seperti sekarang, pulau ini ditinggalkan peselancar yang beralih ke Pantai Kuta.

Di Serangan, agama Hindu yang didominasi penduduk sangat tidak terasa. Rangkaian waktu lebih dari tiga abad telah membuat proses asimilasi antaragama di pulau ini sangat cair. Nyaris tak ada perbedaan antarsuku dan antaragama. Terutama antara warga keturunan Bugis dengan penduduk asli Bali yang menganut Hindu. Mereka hidup rukun, damai, dan tentram di satu perkampungan bernama Kampung Bugis.

Di pulau ini, hasil asimilasi bukan lagi sekadar tegur sapa. Namun penetrasinya lebih tajam lagi hingga ke rumah tangga. Usman, pria keturunan Soppeng yang lahir pada 1973 di Serangan misalnya. Sudah sebelas tahun Usman hidup rukun dengan istrinya yang asli Bali. Mereka menikah 1996 dan sudah dikarunia dua anak.

"Sebelum menikah, istri saya bernama Made Rentik. Tapi saat menikah, dia muallaf dan berganti nama menjadi Aisyah," tutur Usman, sesaat sebelum salat Duhur di Masjid Assyuhada, Serangan.

Sejarah orang-orang Bugis sendiri sudah terukir panjang sebelum Usman didaulat sebagai kepala lingkungan di pulau itu. Adalah Syekh Haji Mukmin yang menandai awal kehidupan cucu Adam dan Hawa di Pulau Serangan pada abad ke-17 atau setelah Kompeni VOC Belanda menguasai Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Rombongan yang dipimpin Syekh Mukmin dikabarkan meninggalkan Gowa lantaran tak mau kompromi dengan VOC. Apalagi ketika itu VOC sangat mengendalikan kehidupan maritim di Gowa dan sekitarnya.

"Syekh Mukmin kemudian berlayar bersama 44 orang setianya hingga terdampar di ujung timur Pulau Serangan," ungkap Mochammad Mansyur, 67, sesepuh Kampung Bugis, saat Fajar bertandang ke kediamannya. Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung, Cokarde Gombrang, yang menguasai Pulau Serangan.

Kelompok Syekh Mukmin diundang ke istana raja dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Mengetahui Syekh Mukmin berasal dari Gowa, Raja Badung bersimpati dan mengizinkan mereka bermukim di Desa Telagigendong. Dengan catatan, setiap saat kelompok Syekh Mukmin wajib membantu Raja Badung.

Hidup di Telagigendong yang jauh dari pantai ternyata membuat tak nyaman kelompok Syekh Mukmin. Alasannya sederhana, mereka adalah pelaut. Maka kali kedua, Syekh Mukmin meminta agar Raja Cokarde Gombrang mengizinkan mereka pindah ke daerah pesisir.

Permintaan ini dipenuhi dan Cokarde menunjuk Pantai Serangan sebagai tempat tinggal kelompok Syekh Mukmin. Suatu ketika pasukan Raja Cokarde Gombrang kesulitan menaklukkan pasukan Desa Mangui yang dikenal kebal senjata. Cokarde kemudian menantang pasukan Bugis yang dipimpin Syekh Mukmin untuk menghadapi pasukan Mangui. Hasilnya menakjubkan, sekalipun hanya berkekuatan 45 orang, namun pasukan Bugis bisa menang bahkan berhasil membunuh Raja Mangui.

Sukses menaklukkan Mangui ini juga menjadi cikal-bakal munculnya nama Serangan. Nama ini terkait dengan pola penyerangan tiba-tiba yang dilancarkan pasukan Mukmin ke Mangui.

"Sebagai hadiah, Raja Cokarde Gombrang kemudian menyerahkan Pulau Serangan kepada orang-orang Bugis. Tapi Raja meminta agar tanah dan pulau ini tidak diperjualbelikan," papar Mansyur yang sehari-hari bertindak sebagai imam Masjid Assyuhada.

Satu hal yang sulit ditelusuri saat ini adalah mencari turunan langsung dari Syekh Mukmin. Walaupun Syekh Mukmin dimakamkan di pulau ini, namun tak ada yang mampu menjelaskan silsilahnya. Penduduk setempat juga tak ada yang menyatakan bahwa Syekh Mukmin pernah menikah dan beranak-pinak sebagai garis keturunan langsung.

Sementara penduduk Bugis Serangan yang ada saat ini adalah turunan dari anak buah atau kerabat Syekh Mukmin. Semisal Marjuki, 66, pria yang mendapat tugas merawat Alquran Abad 17 tulisan tangan. Marjuki adalah turunan langsung kedua dari Syekh H Alwi, pemilik dari alquran tersebut. Ada juga H Ahmad Sastra yang kini bermukim di samping Masjid Sangla, Denpasar. (Bersambung)

Alquran Tua dan Ritual 9 Muharram

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (2)

SETIAP 9 Muharram, umat muslim Pulau Serangan menggelar ritual dengan mengarak Alquran tua mengelilingi Kampung Bugis. Katanya, sebagai penolak bala.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

ALQURAN tulisan tangan yang saat ini "dirawat" Marjuki adalah satu dari tiga "pusaka" orang Bugis di Serangan. Karena usianya yang sudah memasuki abad keempat, maka kitab suci kaum muslim ini hanya dikeluarkan pada saat tertentu saja. Bahkan dengan alasan keamanan, Alquran ini terpaksa dipindah dari Masjid Assyuhada ke rumah Marjuki, pada 1999.

Saat BJ Habibie, mantan Presiden RI, meminjam alquran ini untuk dipamerkan di Masjid Istiqlal Jakarta, para peneliti menyatakan bahwa kitab suci ini dibuat pada Abad 17. Bahannya juga bukan dari kertas tapi kulit kayu.

Kondisi alquran itu sendiri hingga kini masih utuh 30 juz. Tebalnya 10 centimeter dengan ukuran seperti Alquran lainnya. Kulit luar berbahan plastik agak tebal warna hijau. Cukup jelas terlihat bahwa Alquran ini ditulis tangan dengan tinta hitam dan tinta merah untuk setiap kalimat "Bismillahirahmanirahim".

Ada dua versi tentang asal-usul Alquran ini. Menurut Mochammad Mansyur, 67, khatib sekaligus imam Masjid Assyuhada, Alquran ini dibawa Syekh Haji Mukmin dari Gowa. Sedang Marjuki mengatakan, alquran ini dibawa Haji Alwi dari Kalimantan. Namun tak ada bukti otentik yang bisa memperkuat kedua versi itu.

Haji Alwi sendiri tak lain adalah kakek kandung Marjuki. Dia datang ke Serangan setelah Syekh Haji Mukmin membangun kehidupan di pulau ini. Setelah Haji Alwi wafat, Alquran ini kemudian diwariskan kepada Siddiq, ayah kandung Marjuki.

Baik Mansyur maupun Marjuki juga tak bisa memastikan siapa penulis atau pembuat dari Alquran tersebut. "Setahu saya, Haji Alwi yang pelaut membawanya (Alquran itu) dari Kalimantan, dari Pontianak. Dia selalu keliling nusantara membawa Alquran ini hingga sampai di Serangan," tutur Marjuki saat memperlihatkan Alquran tua yang selalu terbungkus kain hijau diikat pita merah itu kepada Fajar.

Leluhur Marjuki berasal dari Wajo, Sulsel, termasuk H Alwi. Marjuki sendiri lahir di Serangan namun sangat fasih menggunakan bahasa Bugis. Masyarakat Bugis dan penduduk muslim lainnya di Kampung Bugis mempercayakan Marjuki untuk merawat alquran tua itu dengan alasan turun-temurun. Hal ini juga seolah menjadi pengakuan tidak langsung dari muslim Serangan jika alquran itu memang "milik" Haji Alwi.

Penduduk Kampung Bugis Serangan punya tradisi mengarak Alquran tulisan tangan ini keliling kampung setiap 9 Muharram. Alquran ini diarak sebanyak tiga kali. Beberapa tahun sebelumnya, ritual ini digelar pada tanggal 1,2, dan 3 Muharram berturut-turut tiga hari. Setiap hari diarak sekali keliling kampung.

"Ini dilakukan untuk menolak bala. Sekarang hanya diarak pada 9 Muharram tapi langsung tiga kali keliling kampung. Dipindah ke 9 Muharram untuk mendekatkan ke Hari Asyura, 10 Muharram," kata Mansyur yang dibenarkan Marjuki.

Jika ritual ini digelar, arak-arakan bukan hanya diikuti warga muslim saja. Umat Hindu yang mendominasi Serangan juga turut serta. Bahkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI yang mengaku memiliki nama Islam sebagai Abdullah juga tak pernah absen.

Umat Hindu dan orang Bali memberi apresiasi positif terhadap ritual ini. Orang Bali memanggil orang Islam Bugis sebagai "Nyama Selam" (saudara Islam, Red). Sungguhpun berlainan agama, mereka saling menghormati antara satu sama lain. Contohnya, semasa Nyepi orang Hindu, orang Islam tidak memasang pembesar suara di masjid mereka.

*****

DI Serangan, perkampungan Hindu dengan 73 keluarga muslim di Kampung Bugis tersekat dinding tembok setinggi 1,5 meter. Walaupun demikian, secara fisik masyarakat muslim dan Hindu tidak terpisah oleh dinding itu. Mereka tetap bergaul antara satu sama lain. Semisal melaut atau membuat kerja-kerja bakti bersama. “Kami tidak mempunyai masalah dalam kehidupan sosial harian kami,” kata Iskandar, pengurus Masjid Assyuhada.

Sehari-hari, asimilasi budaya juga menembus bahasa. Orang-orang Bugis tetap bertutur bahasa Bugis tapi juga sangat fasih bercakap dalam bahasa Bali. Ada juga beberapa orang Bali yang memeluk agama Islam, bahkan menikah dengan pria Bugis.

Di kala lepas Magrib, anak-anak muslim juga dengan bebasnya pergi mengaji di masjid. Tak jarang mereka "dikawal" teman mainnya yang beragama Hindu.

Pemeluk Hindu juga demikian adanya. Mereka mengaku sangat nyaman beribadah di empat pura besar yang ada di Serangan. Kebetulan, keempat pura ini: Pura Dalam Sakenan, Pura Dalam Susunan, Pura Khayangan Tiga (hanya 150 meter dari Masjid Assyuhada), dan Pura Cemara, termasuk gugusan pura purbakala.

"Kalau Nyepi, pemuda muslim yang jaga kampung. Sangat nyaman, Mas" ujar Gede, pemuda asal Sanur yang membawa Fajar ke Pura khayangan Tiga. (Bersambung)

Ketika Penyu tak Lagi Berlabuh

BUYUNGMAKSUM/FAJAR

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (3-Selesai)

LARANGAN penangkapan dan perdagangan penyu membuat nadi ekonomi orang Bugis Serangan merosot tajam. Ikan-ikan hias juga menghilang sejak pulau direklamasi.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

SEBELAS tahun lalu, Serangan masih terlepas utuh dari Pulau Bali. Antara kedua pulau ini dipisah oleh selat sepanjang satu kilometer. Ketika itu, satu-satunya rute menuju Serangan adalah melalui Pelabuhan Benoa dengan menggunakan speedboat sekitar 15 menit.

Hingga tahun 1996, orang Bugis Serangan terkenal sebagai pemburu penyu terkenal. "Saya cari penyu sampai di Buton. Saya jual berapapun pasti laris," kenang Marjuki, pria Wajo yang lahir, besar, dan membina rumah tangga di Serangan.

Menurut Marjuki, daging penyu merupakan makanan favorit orang Bali. Selain itu, kulit penyu juga diolah menjadi hiasan menarik dan bernilai mahal. Hasil tangkapan penyu nelayan-nelayan Bugis ini dijual ke pengusaha-pengusaha seantero Bali.

Namun setelah puluhan tahun, berkah dari penyu harus berakhir. Pada akhir 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan penangkapan dan perdagangan penyu. "Kalau berani jual penyu, barang disita, kami dipenjara 10 tahun," papar Mansyur, tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya juga berprofesi sebagai penangkap penyu.

Untuk bertahan hidup, orang-orang Bugis Serangan kemudian mencoba beralih ke ikan hias yang ada di pesisir pulau. Alih target seperti inilah yang dilakoni Usman, pria kelahiran Serangan pada 1973 dan mengaku leluhurnya berasal dari Soppeng. Kebetulan, Usman memiliki kemampuan menyelam seperti nelayan-nelayan Bugis di Sulsel.

Sayang, semua denyut ekonomi nelayan Bugis Serangan sulit di tahun 1996. Ketika itu PT Bali Turtle Island Development (BTID) melakukan reklamasi tujuan pembangunan kawasan perhotelan dan wisata di Pulau Serangan. Reklamasi ini membuat area Serangan bertambah dari 112 hektare menjadi 481 hektare.

Tanpa disadari, dampak reklamasi ternyata berimbas pada ikan-ikan hias yang menghidupi Usman dan kawan-kawan. Reklamasi telah merusak keaslian lingkungan di pulau itu. Terutama kawasan hutan mangrove. Akibatnya, ikan hias yang hidup di sekitar mangrove harus menjauh ke tengah laut untuk bertahan hidup.

Usman dan penangkap ikan hias lainnya tak punya pilihan. Mereka terpaksa menghentikan profesi sebagai penangkap ikan hias. Pola hidup masyarakat Bugis pun banyak yang mulai berubah dari laut bergeser ke daratan. Sejumlah pria Bugis kemudian beralih ke sektor pariwisata nonbahari seperti membuka biro-biro perjalanan. Kalaupun ada yang mencoba bertahan hidup, itu karena memang tak ada pilihan.

Dampak reklamasi juga mengubah jalur transportasi menuju dan dari Pulau Serangan. Reklamasi yang tidak pernah tuntas lantaran lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto itu memang telah membuka jalur darat Sanur-Serangan. Tak lagi melalui Pelabuhan Benoa.
Kedua daratan yang dulu sebelas tahun lalu masih terpisah ini kini dihubungkan sebuah jalan beraspal hotmix mulus sepanjang satu kilometer. Lebar jalan yang mirip jalan tol di Makassar ini sekitar 15 meter dan terbagi empat lajur.

Saat ini, untuk mencapai Serangan tak perlu lagi memanfaatkan jasa speedboat. Naik taksi sekalipun sudah bisa nangkring di depan lorong masuk ke Masjid Assyuhada. Melalui darat, cukup 20 menit dari Kota Sanur untuk mencapai Kampung Bugis di Serangan. Sementara dari Kota Kuta sekitar 30 menit.

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI, sendiri tak ragu jika penyatuan Pulau Serangan dengan daratan Bali ini akan mengubah kultur budaya Bugis yang hidup di daerah itu. Ida memastikan warga Bugis Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut; walaupun air laut asin, tapi ikan tidak asin. (***)

Penjara Abu Ghraib

GHRAIB merupakan penjara yang terletak di Abu Ghraib, Iraq, 32 kilometer di barat Baghdad. Bangunan penjara ini merangkumi 280 ekar (115 ha) dengan jumlah 24 menara kawalan. Terdapat lima kawasan berpagar dalam kawasan tersebut. Sel tahanan dalam penjara tersebut seluas empat kali empat meter dan mengurung 40 tahanan setiap satu. Pihak Pakatan Amerika Syarikat menggunakan tempat ini sebagai Kemudahan Pembetulan Baghdad, walaupun ia kekal dikenali dengan nama rasmi asalnya.

Pada penghujung April 2004, rancangan 60 Minutes menyiarkan cerita mengenai salah layanan dan penderaan tahanan Iraq oleh sekumpulan kecil tentera Amerika Syarikat. Cerita tersebut termasuk gambar penderaan tahanan, yang tidak sesuai bagi mereka yang berusia di bawah 17 tahun dan mereka yang tidak gemarkan keganasan atau gambaran seksual sederhana.

Semenjak kejatuhan regim Ba'athist Saddam Husain, penjara ini telah digunakan sebagai pusat tahanan oleh pakatan diketuai Amerika Syarikat yang menjajah Iraq, menahan lebih dari 5,000 orang, sesetengahnya dituduh pemberontak, sesetengah dituduh penjenayah dan yang lain tanpa tuduhan.

Laporan Jeneral TagubaMenurut laporan lima puluh tiga muka surat yang disediakan oleh Major General Antonio Taguba dari tentera Amerika Syarikat, ketika dalam tahun pertama penjara Abu Ghraib beroperasi di bawah seliaan Amerika Syarikat, dianggarkan 60% daripada tahanan di penjara Abu Ghraib bukannya "ancaman kepada masyarakat." Proses penyaringan amat lemah sehinggakan orang awam yang tidak bersalah sering ditahan tanpa had.

Seawal Jun 2003, Amnesty International menyeru penyiasatan berkecuali mengenai sistem tahanan Amerika Syarikat di Iraq, berasaskan gambaran tidak direkodkan mengenai keadaan di dalamnya.

Rujukan Seymour M. Hersh kepada laporan Jeneral dalam "Torture at Abu Ghraib" (Penyiksaan di Abu Gharaib), pada isu 10 May 2004 dalam The New Yorker. Tuduhan lain mengenai salah layanan yang serius oleh tentera Amerika Syarikat dan Birtish diacukan kepada pusat tahanan Abu Ghraib dan pusat tahanan lain di Iraq. Pada Januari 2004, seorang MP menjumpai gambaran digital mengenai penderaan pada CD-ROM ketika dia memproses gambar bagi rakan tentera.

Dia melaporkan gambar tersebut, menyebabkan komander pakatan Lt. General Ricardo Sanchez untuk memerintah Taguba untuk menyiasat. Dua penyiasatan lanjut turut dijalankan. Laporan rahsia Taguba, bertarikh 4 April 2004, menuduh penjara Abu Ghraib luar kawalan. Pengawal mencipta undang-undang mereka sendiri dan menyelia menurut pereturan mereka sendiri dan penyelia menyokong tindakan mereka. Kaki tangan tidak mengawasi tahanan, tidak mengira tahanan mereka, dan tidak menyimpak rekod mengenai beberapa dozen yang lepas lari.

Kemudahan ini mempunyai terlalu ramai tahanan dan terlalu sedikit pengawal. Latihan bagi pengawal tidak mencukupi, dan penyelia tidak membuat lawatan ke kemudahan ini secara sendiri. Pegawai tinggi tentera bertelagah samaada polis tentera atau perisik tentera sepatutnya berkuasa. Layanan tahanan berbeza antara giliran dan kawasan penjara. Laporan Taguba juga menuduh pegawai perisik dan anggota Kompeni Polis Tentera 372 "372nd Military Police Company", yang bertanggung jawab dalam keselamatan, terbabit dalam penderaan direkodkan.

Berlawanan dengan peraturan Tentera, komander membenarkan pegawai perisik untuk menggunakan polis tentera untuk "loosen up" (melemahkan) tahanan sebelum soal siasat. Pada masa laporan Taguba siap, 17 tentera dan pegawai, termasuk Brigadier General Janis Karpinski, dibebaskan dari bertugas. Enam tentera menghadapi perbicaraan tentera "courts-martial" dan kemungkinannya dipenjara disebabkan oleh peranan mereka dalam kejadian tersebut.

Tuduhan terhadap mereka termasuk cuai dalam tugas, salah layanan, serangan menyebabkan kecederaan "aggravated assault" dan memukul "battery". (***)

Irak, Negeri 101 Malam yang Jadi 1001 Masalah (Catatan Akhir Tahun 2006 Bidang Internasional)

OLEH: BUYUNG MAKSUM

Masalah SETIAP hari, penggali kubur harus membuat 476 lubang mayat. Hari-hari yang mencekam dan tak kunjung adanya kedamaian.SABTU hari ini adalah hari ke-1.376 Amerika Serikat (AS) dan sekutunya "menduduki" Irak. Waktu yang relatif sangat singkat untuk membunuh 655.000 rakyat di negara itu (Washington CyberNews). Ada 476 orang tewas setiap hari. Atau 2,5 persen jumlah penduduk Irak tewas akibat serbuan itu dan kekerasan setelah invasi AS pada 18 Maret 2003 (John Hopkins University).

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, hanya dalam rentang waktu Juli sampai Agustus 2006, sedikitnya 6.599 warga sipil Irak tewas. Umumnya adalah korban peledakan bom serta tembakan dan berbagai modus teror lainnya. Hampir 60 persen yang tewas adalah anak-anak dan orang dewasa berusia 15-44 tahun.Korban di kubu AS dan sekutunya juga tak sedikit.

Hitungan AFP berdasarkan angka-angka Pentagon, sudah 2.941 prajurit AS tewas. Jumlah korban bulanan tertinggi adalah November 2004, sebanyak 137 jiwa.
Sedang di bulan Desember 2006 ini, sedikitnya 58 nyawa prajurit AS melayang.

Irak juga menjadi "neraka" bagi kalangan jurnalis. Sepanjang tahun ini, 32 wartawan terbunuh di negeri itu. Total sudah 92 wartawan tewas di Irak sejak invasi. Belum lagi 37 pembantu wartawan seperti penerjemah, sopir, staf kantor dan lain-lain juga ikut terbunuh.Masalah Irak juga mencatatkan rekor baru bagi AS. Sejak menduduki Irak, dana yang digelontorkan Pentagon sudah menembus USD350 miliar (sekitar Rp3.210 triliun). Ini dana perang terbesar yang pernah dikeluarkan Pentagon sejak Perang Vietnam.

***

SEPERTI Indonesia, PBB juga tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan rakyat Irak dari pembantaian. Sekretaris Jenderal PBB yang akan melepas jabatan 31 Desember nanti, Kofi Annan, hanya bisa sedih. Kepada BBC, Annan mengakui kehidupan bagi warga kebanyakan Irak, kini lebih buruk daripada semasa Saddam Hussein berkuasa.

Di awal konflik, benar sebagai bentuk peperangan antara pemerintah Irak dengan pemerintah AS. Namun, ketika sekarang pemerintah Irak justru bekerja sama dengan pemerintah AS, bukannya membuat masalah di Negeri Abu Nawas itu membaik. Malah sebaliknya, konflik menjadi sangat kompleks. Sebut saja pertentangan antara kelompok Sunni dengan Syiah, konflik antara kaum perlawanan Irak dengan pemerintah Irak bentukan AS, atau dengan pasukan pendudukan AS, dan lain sebagainya.

Masalah Irak memang cuma satu dari sekian banyak konflik di dunia ini. Steven D. Strauss menyatakan bahwa dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang tidak pernah terlibat konflik. Namun konflik di Timur Tengah, terutama Irak, adalah konflik paling berdarah, paling berbahaya, dan paling banyak dipublikasikan media massa.

***

BAGI AS, konflik dan perang adalah bisnis model baru yang sangat menguntungkan. Cukup mencengangkan bahwa AS sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang, ternyata juga sebagai penjual senjata paling banyak di dunia. Irak sebagai musuh tetap AS dalam beberapa dekade ini mencatatkan diri sebagai negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pastinya, perang adalah bisnis besar.

Tak heran kalau AS teramat enggan angkat kaki dari Baghdad. Bahkan, kembali berencana menambah pasukan di Irak. Padahal, di Kamp Victory Irak, Robert Gates yang baru saja dilantik sebagai Menteri Pertahanan menggantikan Donald Rumsfeld mendengar langsung pengakuan para komandan perang AS. Termasuk dari Komandan Tertinggi AS di Irak, Jenderal George Casey. Rencana penambahan pasukan 20 ribu tentara AS dianggap hanya menimbulkan masalah baru.

***

SEBENARNYA masyarakat Irak, baik Sunni, Syiah, Kurdi, maupun nonmuslim lainnya, bukanlah masyarakat yang sektarian. Ini bukanlah slogan atau fantasi belaka, melainkan fakta yang sudah terbukti sepanjang sejarah Irak. Ratusan tahun bangsa Irak yang heterogen hidup berdampingan satu sama lain tanpa ada satupun kasus konflik sektarian. Isu konflik sektarian baru merebak ketika AS menduduki Irak, setelah Saddam Hussein terguling, dan setelah para ekstrimis asing berkeliaran di Irak.

Dari fakta sejarah masyarakat Irak ini, setidaknya ada lima solusi yang bisa membawa rakyat Negeri 1001 Malam itu hidup dalam damai. Solusi pertama, tentu saja AS harus dipaksa keluar dari Irak. Ini adalah langkah terpenting. Tanpa itu, upaya penyelesaian apapun akan sia-sia, dan hanya isapan jempol semata. Langkah kedua, mengadili AS, khususnya pemerintahan Bush dan para sekutunya. Pembantaian massal yang telah dilakukan oleh AS dan sekutunya tak boleh dilupakan. Sebab ratusan ribu nyawa anak-anak, wanita, orangtua, dan penduduk sipil yang tidak bersalah mati sia-sia. Solusi ketiga, menuntut AS dan sekutunya membayar ganti rugi bagi rakyat Irak. Keempat, membangun persatuan kaum muslim, khususnya di Irak.

Konflik berkepanjangan antarfaksi yang berbasis mazhab sebenarnya merupakan racun ashabiyah. Saling bunuh dan saling menghancurkan masjid antara Sunni dan Syiah adalah akibat fitnah dari negara asing. Hal terakhir adalah sumbangsih dan dukungan nyata negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap Irak, termasuk Indonesia. Jika Indonesia berani mengirim pasukan perdamaian ke Lebanon, mengapa ke Irak tidak?

***

UPAYA rekonsiliasi paling monumental bagi rakyat Irak sebenarnya baru terjadi sekitar satu setengah bulan lalu. Tepatnya, 20 Oktober 2006. Sebuah pertemuan digelar dan menghasilkan "Piagam Mekah" yang ditandatangani para pimpinan agama di Irak, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Kelompok bertikai dalam internal Irak sepakat menghentikan pertumpahan darah dan menyerukan penghentian perang antaretnik.

Di bulan yang sama, Perdana Menteri Irak Al-Maliki juga melontarkan strategi empat poin untuk mengatasi konflik. Di antaranya pembentukan dewan keamanan lokal, serta menolak penguasaan media massa. Tapi baik Piagam Mekah maupun strategi Al-Maliki ternyata tidak mampu meredakan konflik.

Malang yang terlalu banyak memang sudah melilit Irak. Sebanyak kisah yang dituturkan Abu Nawas dalam dongeng Seribu Satu Malam. Bedanya, malam yang dilalui Abu Nawas sangat indah. Sementara saat sekarang, malam yang ada penuh kegalauan, ketakutan, dan bayang-bayang kematian yang bermunculan di mana-mana. Tampaknya, gelar 1001 Malam itu, kini betul-betul berubah menjadi 1001 masalah. (***)

Kamis, 29 November 2007

Headline News yang Menyesatkan


PERNAHKAH anda melihat berita utama (headline news) koran nasional kita dengan judul: “Pemerintah Didesak...”, “Pengusaha Mengeluhkan…”, “Perlu Penanganan Khusus untuk ….”, “Pemerintah Perlu Tegas Soal…”, “Menteri Anu Bungkam Soal…” dan semacamnya?
Dengan segala maaf “berita-berita” semacam itu masih sangat banyak menghiasi halaman pertama koran-koran kita.


Mengapa saya menulis “berita-berita” dalam tanda petik? Saya yakin Anda paham maksudnya, yaitu bahwa sebenarnya yang tersaji di sana bukan berita. Yang tersaji di sana bukan peristiwa yang dilaporkan, tetapi “omong-omong” yang ditulis ulang oleh wartawan.

Berita berjudul “Pemerintah Didesak Tegas Soal Lumpur Panas Porong”, misalnya, sesungguhnya hanya berisi omong-omong wartawan dengan sumber-sumber tertentu tentang banjir lumpur panas di Porong Jawa Timur. Wartawan sadar bahwa kasus lumpur panas masih menjadi persoalan serius, tapi hari ini tidak ada “hal baru” untuk dilaporkan. Maka yang dimunculkan di media massa adalah “talking news” yang tidak mengandung kebaruan informasi sama sekali.

Tulisan semacam itu masih lumayan. Yang lebih menggelikan adalah berita-berita utama menjelang pemilu. Banyak koran yang menurunkan “talking news” politik yang tidak ada urusannya apapun dengan fakta di lapangan.

Memang bisa jadi ada “berita tersembunyi” di balik tulisan seperti itu (tetapi kalau ini yang terjadi, berarti wartawan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana menulis berita, atau tidak berani menulis lugas). “Pemerintah Perlu Tegas Soal Kargo Bandara” yang muncul baru-baru ini adalah talking news.

Berita sesungguhnya adalah “Banyak Penyimpangan Bidang Kargo Bandara”. “Pengusaha Minta Keringanan Pajak” adalah talking news. Di balik tulisan itu mungkin ada berita yang lebih lugas “Beban Pajak Terlalu Berat”, atau “Beban Usaha Terlalu Mencekik” dll.

Tetapi sering terjadi bahwa media yang bersangkutan sadar bahwa dia tidak sedang menulis berita, tetapi sedang menjalankan misi atau agenda politiknya. Misalnya saja tidak ada angin tidak ada hujan, sebuah koran terkemuka di Indonesia menyajikan tulisan utama di halaman satu dengan judul, “Pemerintah Harus Berpihak pada Petani”.

Pasti tulisan itu tidak mempunyai nilai berita apapun, dan koran yang bersangkutan pun pasti sadar akan hal itu. Tetapi koran yang bersangkutan merasa harus menurunkan tulisan itu, karena koran tersebut mempunyai misi membela petani, dan pada saat yang sama mulai kesal bahwa pemerintah tidak kunjung peduli pada nasib petani.

KETIKA seseorang membaca berita untuk tujuan ekonomi, perlu disadari bahwa media massa sering tidak bisa memenuhi harapan. Ada kalanya media memang tidak sadar akan makna ekonomi dari satu peristiwa, sehingga berita yang penting dalam perspektif kita akan disajikan sebagai berita kecil, yakni berita sekilas, berita satu kolom, berita dua kolom, atau berita kecil lain yang “nyempil” di halaman dalam.

Tetapi ada kalanya juga secara sadar satu media mengabaikan berita itu dan mengangkat berita lain yang menurut mereka lebih “layak berita” (memiliki nilai aktual, kedekatan dengan pembaca, unik, berdampak, menyangkut nama besar, terkait konflik, menyentuh).

Karena kondisi inilah para manusia ekonomi semestinya lebih teliti dalam membaca berita dan tidak terjebak pada bagaimana cara media massa menyajikan menu beritanya. Ada kalanya menu yang menurut media adalah santapan utama, tetapi bagi manusia ekonomi tak lebih dari cemilan sore. Sebaliknya ada berita kecil menurut media, tapi menurut manusia ekonomi adalah “makanan besar”.

Berita mengenai satu bengkel yang berhasil membuat biodiesel berbahan baku jagung pasti bukan berita besar bagi satu koran yang hobi dengan berita politik dengan segmen pasar pembaca perkotaan. Tetapi berita itu pasti memiliki nilai ekonomi yang sangat penting untuk para petani (khususnya petani palawija), untuk pedagang hasil bumi, untuk industriawan yang menekuni bioenergi, dll.

Karena itu mulailah lebih teliti dalam membaca berita, jangan terjebak dengan menu yang dikemas oleh media. Mulailah selalu dengan pertanyaan, apa manfaat ekonomi berita ini untuk saya. Lupakan di halaman mana berita itu ditempatkan, dan berapa besar kapling yang disediakan untuk berita itu. (*)

Rabu, 28 November 2007

"Mama... Perempuan Itu Benar-benar Telanjang..."

Menengok Aksi Striptis di Makassar

MELIUK, melepas pakaian satu per satu hingga telanjang bulat. Terus menari, napasnya pun terdengar naik turun. Striptis, demikian nama populer tari telanjang itu. ADA striptis di Makassar?

LAPORAN: Buyung Maksum
Makassar

JANGAN menutup mata, itu memang ada. Bahkan, lebih dahsyat dibanding pameran-pameran syahwat yang mulai lazim di sejumlah tempat hiburan malam (THM). Striptis yang benar-benar totalitas atau telanjang bulat.

Mau bukti? Berikut laporan hasil penelusuran saya di salah satu THM di kota ini yang menyediakan "fasilitas" striptis kelas wahid. Tentunya, setelah berbagai lika-liku dan tanya kiri tanya kanan. Namun atas pertimbangan tertentu, nama-nama dan lokasi yang ada di laporan ini disamarkan atau bukan identitas sebenarnya.

***

Jarum jam menunjukkan angka 23.30 Wita, 13 Februari. Dua mobil; sedan Suzuki Baleno diikuti Daihatsu Xenia yang masing-masing berpenumpang empat lelaki, pelan tapi pasti menyeruak di kesunyian sepanjang Jl AP Pettarani. Kedua mobil kemudian membelok ke Jl Urip Sumohardjo hingga Jl Bawakaraeng dan belok kiri ke Jl Jenderal Sudirman. Terus, hingga berbelok kanan ketika mencapai putaran di kawasan Makassar Mall.

Lagu teranyar milik kelompok musik Naff seolah menuntun empat penumpang yang ada di Baleno hitam untuk menyusur Jl Wahidin Sudirohusodo. Masih di pertengahan jalan, kedua mobil berbelok kanan. Tujuannya adalah “PM”, salah satu THM yang tak jauh dari Jl Andalas.

***

Suasana hall berukuran 17 kali 15 meter di lantai satu THM itu masih kurang ramai. Hanya beberapa deret sofa saja yang terisi, tentunya berpasangan; laki dan perempuan yang rata-rata berpakaian minim. Tak perlu mengeluarkan duit untuk masuk ke hall ini. Cukup pesan minuman, lalu nikmati live music ketika jarum jam tepat di angka 00.00 Wita.

Di pergantian hari, di panggung ukuran 14 kali empat meter di bagian depan hall muncul master of ceremony (MC).

"Selamat malam, selamat Valentine's day. Selamat menikmati malam Anda...," kata pria berkaus biru berbalut jas hitam yang bertindak sebagai MC.

Seorang penyanyi perempuan kemudian muncul dan mendendangkan lagu Mandarin. Tak lama, muncul dua perempuan muda yang hanya mengenakan bra dan celana dalam. Keduanya pun menari. Silih berganti, keduanya mendatangi dan bergoyang di depan hidung penonton.

Inikah striptis itu?

***

NYARIS tak ada yang istimewa dan hampir membosankan hingga jarum jam berpindah ke angka 02.00 Wita. Saat satu demi satu pengunjung hall berbalik badan; pulang ke rumah masing-masing atau ke tempat lain, sontak teman penulis,--sebut saja Sukri-- berkata, "Petualangan malam kita baru dimulai."

Kami berdelapan memilih tidak keluar dari THM itu. Seorang rekan,-- sebut saja Judi, selanjutnya mengarahkan kami beranjak ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar yang di pintunya terpampang angka 208.

"Ini Room 208. Banyak room seperti ini di sini, tapi jumlah pastinya saya kurang tahu," kata Judi yang mengaku memang sudah beberapa kali ke tempat itu.

Room seluas tiga kali delapan meter itu berisi satu kulkas dengan aneka minuman, sebuah televisi ukuran 29 inchi yang tersambung langsung ke bagian operator karaoke. Juga ada dua pasang sofa yang dijadikan satu dan menghadap ke televisi.

Tapi kami sudah tidak berdelapan lagi. Ada seorang perempuan yang menemani. Namanya, sebut saja Yusmin. Yusmin mengaku berusia 30 tahun dan berasal dari Bandung.

"Tapi tempat saya kerja di Samarinda. Saya dikontrak dua minggu di tempat ini," aku Yusmin yang bentuk tubuhnya terlihat melalui celana jeans ketat apalagi dipadu baju tanpa lengan berbalut rompi yang juga berbahan jeans. Dia juga cukup ramah.

Awalnya, Yusmin hanya menari mengikuti irama hentakan musik disko klasik. Tapi di lagu kedua, Yusmin mulai berani. Tak ada celana jeans, rompi, dan baju. Yang tersisa hanya bra dan celana dalam yang keduanya berwarna hitam. Dia terus meliuk. Mendatangi kami satu persatu dan mendesah seolah mengajak melepas syahwat.

Di lagu ketiga, Yusmin makin liar.

"Buka... bukaa... bukaaa...," kami mulai bersorak. Dahsyat, Yusmin pun melepas pengait bra yang memang berada di bagian depan. Sebelum melepas semuanya, dia menyebut dua aturan; tak boleh menyalakan lampu terlalu terang dan haram melakukan pengambilan gambar!Malam makin suntuk, kegilaan Yusmim juga makin menjadi. Tak puas dengan aksi itu, dia langsung melepas segitiga penutup auratnya.

"Mama... itu perempuan benar-benar telanjang," kata salah seorang teman--sebut saja Syarwan, seakan tak percaya.Ya, di depan kami, Yusmin, penari striptis itu benar-benar telanjang. Tanpa sehelai kain pun. Dia tak ragu mendatangi satu per satu pria yang ada di ruangan itu. Memainkan tubuhnya ibarat sementara menikmati making love (ML).

"Makassar sudah gila. Ini benar-benar edan," bisik Sukri kepada saya. Berapa bayaran Yusmin untuk "menari"?

Cukup lumayan, yakni Rp500 ribu per 30 menit. Itu baru bayaran Yusmin. Sementara biaya pemakaian room per tiga jam dipatok Rp250 ribu. Itu belum termasuk harga minuman dan tip. Tak cukup sejuta rupiah untuk menikmati "keliaran" Makassar, kota yang sedang menggalakkan gemar membaca ini.

"Pernah ada yang mengajak tamu yang mengajak berhubungan badan?" tanya saya.

"Sering, tapi saya tolak. Saya tidak pernah melayani permintaan seperti itu kalau sedang kerja," ujar Yusmin, datar.

"Ada yang pernah memaksa?" tambah saya lagi.

"Tak terhitung lagi. Kalau sudah begitu, saya langsung berhenti," jawab dia.

"Mau terima BL (boking luar, red)?" kejar saya.

"Itu urusan bos. Telepon saja, mungkin sempat. Tapi saya tidak mau "main" di kantor," ujar Yusmin menjawab permintaan Sukri yang mengajaknya show di kantornya.

***

TAK terasa, jarum jam sudah di angka 02.30 Wita. Artinya, Yusmin sudah selesai menjalankan "tugasnya". Kami memang hanya "dijatah" setengah jam untuk menikmati goyangan perempuan itu. Setelah menitip nomor telepon selularnya ke Sukri, Yusmin pun pamit. Dia meninggalkan kami yang masih melongo, tak percaya ada aksi seperti ini di Makassar. (***)

Selasa, 27 November 2007

Melirik RAPBDP Sulsel 2006

Obat Gubernur-Wagub
Dihargai Rp245 Juta

SUNGGUH enak jadi gubernur dan wakil gubernur Sulsel. Salah satu bukti, sekalipun tahun 2006 tersisa tiga bulan lagi, namun gubernur dan wakil gubernur Sulsel mendapat tambahan biaya pakaian dinas.

Jumlahnya memang masih jauh di bawah gaji pokok gubernur dan wagub yang berada di kisaran Rp60 juta. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (RAPBDP) Tahun 2006, pakaian dinas kedua pejabat itu naik menjadi Rp102.250.000.
Sebelumnya perubahan, nominalnya adalah Rp84.250.000. Dengan kata lain, ada penambahan biaya pakaian dinas gubernur dan wagub sebesar Rp18 juta, atau sekitar 21,36 persen.

Dalam RAPBDP memang belum dirinci besar besar alokasi biaya baju dinas untuk gubernur, dan berapa untuk wagub. Tapi ilustrasi itu bisa digambarkan pada alokasi anggaran sebelum perubahan.

Di APBD Tahun 2006, biaya pakaian sipil lengkap untuk gubernur mencapai Rp42.850.000. Sedang alokasi serupa untuk wagub sebesar Rp41.400.000.

Setelah ada penambahan, sesuai RAPBDP, maka diprediksi seorang gubernur dan wagub bisa membeli pakaian dinas seharga kurang-lebih Rp4 juta hingga Rp5 juta setiap bulan. Sekadar mengingatkan, uang untuk beli pakaian yang membalut di tubuh kedua pejabat itu bersumber dari keringat rakyat.

Selain biaya pakaian dinas, lonjakan drastis juga ditemui pada item biaya perawatan dan pengobatan gubernur dan wagub. Kenaikannya mencapai Rp40 juta sehingga total setelah perubahan Rp245 juta.

Pada APBD Tahun 2006, Gubernur Sulsel mendapat biaya perawatan dan pengobatan local sebesar Rp110 juta. Jika angka ini dibagi 12 bulan, maka setiap bulan seorang gubernur ‘wajib’ belanja obat sebesar Rp9,17 juta.

Untuk item serupa, wakil gubernur juga mendapat bagian yang tak sedikit. Nominalnya adalah Rp95 juta. Atau ada kewajiban bagi wagub untuk belanja obat Rp7,912 juta. Jumlah ini tentu saja lebih membengkak setelah perubahan APBD. (buyung maksum)

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (3-Habis)

Sang Asisten Sekadar Pembantu

DARI pemeriksaan awal hingga akhir, seluruh penanganan medis dilakukan dokter sesuai keahliannya. Sang asisten sebatas membantu penyediaan alat.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

BERBEDA dengan rumah sakit atau klinik yang ada di Indonesia, kelompok rumah sakit Parkway tak mengizinkan asisten dokter melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Sekalipun hanya memasukkan serum ke dalam tubuh. Pasien hanya ditangani dokter sesuai keahliannya.

Widjaja Luman, dokter spesial saluran pencernaan di Mount Elizabeth mengakui hal ini. Bahkan ketika penulis berkesempatan melihat proses endoskopi di klinik Widjaja, sang asisten hanya mendapat tugas; membersihkan, menyediakan, dan mengatur alat penunjang lain.

Padahal sumber daya manusia para asisten dokter di RS ini juga tak meragukan. Setidaknya, setara dengan dokter-dokter nonspesialis. Sebab sejatinya, status mereka memang sudah dokter. Tapi karena aturan Parkway yang mewajibkan pasien ditangani langsung dokter spesialis, membuat peran asisten sebatas menjadi tenaga pembatu dokter spesialis.

Tentu saja, ini yang sangat kontras dengan peran asisten dokter di Indonesia. Malah, di sebagian rumah sakit atau klinik di Makassar, peranan asisten dokter jauh lebih besar. Para asisten malah ‘leluasa’ melakukan ‘praktikum’ langsung terhadap pasien. Bisa menyuntik, menulis resep obat, bahkan ada yang ikut melakukan pembedahan alias operasi.

Pembatasan kerja asisten dokter juga berlaku di intensive care unit (ICU). Sama di perawatan lainnya, di ruang gawat darurat pun hanya dokter-dokter spesialis yang diperkenankan melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Semisal, hanya dokter ahli bedah tulang yang mendapat izin untuk menangani pasien kecelakaan.

Melihat kondisi ini, penulis teringat saat sebuah kecelakaan menimpa seorang teman enam tahun lalu. Korban kemudian dibawa ke rumah sakit terbesar dan terlengkap di Makassar.

Sampai di ICU, para tim medis yang bertugas segera mempersiapkan pertolongan pertama. Ada yang menyuntik, ada juga yang membersihkan luka-luka di tubuh korban. Setelah pertolongan selesai, saya baru tahu kalau mereka adalah dokter co-ast. Para ‘dokter’ ini dibantu siswa Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang sedang menjalani masa magang.

Kembali ke Parkway, ketentuan seperti ini mutlak berlaku, baik di Mount Elizabeth Hospital maupun di Gleneagles dan East Shore Hospital. Masing-masing rumah sakit ini memiliki dokter sendiri. Tapi untuk penanganan tertentu, Parkway Hospital akan memperbantukan tenaga medis dari salah satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang satu grup dengan mereka.

Dari tiga rumah sakit Parkway di Singapura, adalah Mount Elizabeth Hospital yang memiliki jumlah dokter terbanyak. Chairman Parkway Holdings Ltd, Richard Seow, melaporkan bahwa ada seribu dokter di Mount Elizabeth yang siap melayani perawatan umum. Sedang untuk tenaga ahli, rumah sakit ini punya 300 dokter ahli.

Teknologi terkemuka dan teranyar untuk pengobatan kanker juga berada di rumah sakit ini. Mount Elizabeth adalah rumah sakit pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas TomoTherapy Hi Art System. Dengan alat ini, kanker tidak akut bisa dimusnahkan hanya dalam tempo 20 menit.

“Dengan Tomotherapy, pengobatan kanker dilakukan langsung di sarangnya, tanpa merusak bagian tubuh yang lain. Dibanding kemoterapi, Tomotherapy jauh lebih sempurna,” papar onkologis, pakar spesialis kanker, Dr Ang Peng Tiam.

Tak hanya itu, Mount Elizabeth juga memiliki PET Scan, alat yang mampu memperlihatkan letak, struktur, dan anatomi suatu organ atau jaringan kanker serta mengenali metabolismenya. Dengan alat ini, para dokter bisa mendeteksi letak dan karakter kanker, sehingga bisa dihancurkan dengan akurat.

Selain Tomotherapy dan PET Scan, masih banyak layanan kesehatan lainnya yang tersedia di Mount Elizabeth. Mulai dari anastesi, kardiologi, dental surgery, dermatalogi, diabetes, diagnosa radiology, endokrinologi, gastroenterologi, hingga transplant. (*)

Catatan dari Parkway Hospital Singapura (2)

Dari Sultan Brunei ke Bupati Pangkep

KEMEWAHAN sebuah kamar istirahat bukan lagi semata milik hotel-hotel berbintang. Rumah-rumah sakit di Singapura malah memfasilitasi kamar mereka dengan ruang meeting dan lounge.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

DI Mount Elizabeth Hospital, ada dua kamar rawat yang sangat istimewa. Serba luks, ibarat mengaso di kamar hotel berbintang lima. Kamar super ini dilengkapi sebuah ruang meeting, lengkap fasilitas telepon dan faksimili, dan satu kamar keluarga pasien. Bahkan ada lounge.

Lebih istimewa lagi karena kamar ini dirancang dan dipesan khusus Sultan Brunei Darussalam, Sultan H Bolkiah. Mulanya, kamar ini dikhususkan untuk merawat salah seorang terkaya di dunia itu. Tapi saat ini, Bolkiah mengizinkan kamarnya untuk digunakan masyarakat umum.

Di Mount Elizabeth, kamar rawat Bolkiah ini dikenal dengan nama Royal Suite. Berada di lantai tujuh. Dari balik jendela, pasien bisa menyaksikan kemewahan, ketertiban, kehijauan, dan keramahan Singapura.

“Dulu, hanya Sultan Bolkiah yang menggunakan kamar ini. Tapi sekarang, Sultan mengizinkan untuk digunakan masyarakat umum,” kata Senior Marketing Manager Corporate Marketing Parkway Group Healthcare Pte Ltd, Ahmad Mahmud.

Namanya kamar mewah, harganya tentu juga wah. Semalam, tarif kamar berukuran 42 meter persegi ini mencapai 7.000 Dolar Singapura (SD1 setara dengan Rp5.900). Angka ini baru tarif kamar pasien. Harga yang sama juga berlaku untuk kamar keluarga dan ruang meeting.

Dua lantai di bawah suite Sultan Bolkiah, terdapat kamar rawat Bupati Pangkep Syafrudin Nur. Sama dengan Bolkiah, Syafrudin yang telah kembali ke Pangkep 10 September lalu juga hanya seorang diri di kamarnya. Hanya saja, tak ada kamar keluarga dan ruang meeting di kamar 5518 milik Syafrudin.

Karena fasilitas yang jauh berbeda, maka tarifnya juga dipastikan tak sama. Representative Manager Makassar Parkway, Sahel Abdullah, memprediksi tarif kamar yang ditempati Syafrudin tak kurang dari SD150.

Sejatinya, Parkway Group Hospital memiliki 1008 tempat tidur perawatan untuk pasien. Jumlah ini tersebar di tiga rumah sakit yang bernaung di bawah bendera Parkway di Singapura. Rinciannya, 123 kamar di East Shore Hospital, 380 di Gleneagles Hospital, ditambah 505 di Mount Elizabeth Hospital. (bersambung)

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (1)

Jalani Endoskopi Sambil Bercakap

ENDOSKOPI bukan lagi hal menakutkan. Sekalipun selang ‘mengobrak-abrik’ di bagian dalam tubuh, pasien tetap terjaga, bercanda, bahkan sama sekali tak merasa kesakitan.


LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

TAK terlihat kecemasan atau rasa sakit di wajah Suh Thong Hwan saat terbaring di salah satu bilik periksa di lantai sembilan Mount Elizabeth Hospital Singapura. Padahal, saat itu, sebuah selang berdiameter 1,5 cm sedang ‘bergerilya’ di usus 12 jari miliknya.

Sesekali, Suh malah bercakap dengan Dr Widjaja Luman, seorang consultant gastroenterologist and general physician, tepatnya ahli penyakit pencernaan atau hepar dan penyakit dalam di Mount Elizabeth Hospital. Intinya, pria yang sudah berumur 51 tahun itu tetap dalam posisi sadar penuh.

Dalam dunia medis, endoskopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan endoskop. Sedang endoskop adalah sebuah teropong untuk memeriksa rongga di dalam pembuluh, saluran dan liang yang sempit di beberapa bagian tubuh.

Saat ini, perangkat untuk endoskopi milik Widjaja Luman adalah satu-satunya sekaligus paling modern di Asia Tenggara. Di klinik atau rumah sakit lain, endoskopnya masih berupa selang diameter 2,5 cm dan dimasukkan melalui mulut atau anus.

Sedang endoskop milik Widjaja Luman dimasukkan ke tubuh melalui lubang hidung. Dengan cara ini, pasien lebih leluasa untuk berbicara. Pasien juga tak perlu menjalani pembiusan dan saa sekali tak tersentuh jarum suntik. Selama endoskopi berlangsung, pasien tetap sadar. Dia cuma merasa agak kembung.

“Sebenarnya, ini teknologi yang masih sederhana, belum hightech,” ungkap Widjaja Luman, saat ditemui Fajar di kliniknya, di Mount Elizabeth Hospital, Senin lalu.

Saat Suh menjalani endoskopi, seluruh isi perutnya terlihat jelas. Di layar monitor terpampang bagaimana lekak-lekuk usus, ginjal, dan saluran pembuangan milik Suh.

Untuk menjalani pemeriksaan endoksopi check up lemak seperti ini, Suh harus merogoh kantung sebesar 220 dolar Singapura (saat ini SD1 setara dengan Rp5.900, red).

Widjaya melaporkan, selama ini pasien terbesarnya berasal dari Indonesia termasuk Sulsel. Taksirannya mencapainya 60 persen, ditambah 30 persen warga Singapura, selebihnya adalah para ekspatriat.

Hanya saja, Widjaja tak bias membeberkan nama pasien asal Indonesia yang sudah berobat atau menjalani check up di kliniknya. Maklum, di bernaung di bawah bendera Mount Elizabeth Hospital, rumah sakit yang dikenal sangat ketat menjaga privacy pasiennya. (bersambung)