Jumat, 30 November 2007

Tiga Kebesaran Warisan Syekh Mukmin

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (1)

MASJID Assyuhada, Alquran tulisan tangan, dan makam Syekh Haji Mukmin, menjadi penanda kebesaran Bugis di salah satu gugusan Pulau Dewata.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

INTRO lagu "Welcome to My Paradise" milik Steven and Coconut Treez melantun manis dari sebuah radio transistor penduduk ketika Fajar menjejakkan kaki di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Bali, Sabtu 8 Mei lalu. Pulau ini memang seolah menjadi surga bagi orang-orang Bugis dan pemeluk Islam di seantero rangkaian Pulau Dewata.

Berpasir putih dan menjadi idola para surfer (peselancar, Red) di musim hujan. Antara bulan Oktober hingga April, angin timur membuat gulungan ombak di pulau sebelah selatan Bali ini membangkitkan andrenalin surfer. Tapi di musim kemarau seperti sekarang, pulau ini ditinggalkan peselancar yang beralih ke Pantai Kuta.

Di Serangan, agama Hindu yang didominasi penduduk sangat tidak terasa. Rangkaian waktu lebih dari tiga abad telah membuat proses asimilasi antaragama di pulau ini sangat cair. Nyaris tak ada perbedaan antarsuku dan antaragama. Terutama antara warga keturunan Bugis dengan penduduk asli Bali yang menganut Hindu. Mereka hidup rukun, damai, dan tentram di satu perkampungan bernama Kampung Bugis.

Di pulau ini, hasil asimilasi bukan lagi sekadar tegur sapa. Namun penetrasinya lebih tajam lagi hingga ke rumah tangga. Usman, pria keturunan Soppeng yang lahir pada 1973 di Serangan misalnya. Sudah sebelas tahun Usman hidup rukun dengan istrinya yang asli Bali. Mereka menikah 1996 dan sudah dikarunia dua anak.

"Sebelum menikah, istri saya bernama Made Rentik. Tapi saat menikah, dia muallaf dan berganti nama menjadi Aisyah," tutur Usman, sesaat sebelum salat Duhur di Masjid Assyuhada, Serangan.

Sejarah orang-orang Bugis sendiri sudah terukir panjang sebelum Usman didaulat sebagai kepala lingkungan di pulau itu. Adalah Syekh Haji Mukmin yang menandai awal kehidupan cucu Adam dan Hawa di Pulau Serangan pada abad ke-17 atau setelah Kompeni VOC Belanda menguasai Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Rombongan yang dipimpin Syekh Mukmin dikabarkan meninggalkan Gowa lantaran tak mau kompromi dengan VOC. Apalagi ketika itu VOC sangat mengendalikan kehidupan maritim di Gowa dan sekitarnya.

"Syekh Mukmin kemudian berlayar bersama 44 orang setianya hingga terdampar di ujung timur Pulau Serangan," ungkap Mochammad Mansyur, 67, sesepuh Kampung Bugis, saat Fajar bertandang ke kediamannya. Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung, Cokarde Gombrang, yang menguasai Pulau Serangan.

Kelompok Syekh Mukmin diundang ke istana raja dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Mengetahui Syekh Mukmin berasal dari Gowa, Raja Badung bersimpati dan mengizinkan mereka bermukim di Desa Telagigendong. Dengan catatan, setiap saat kelompok Syekh Mukmin wajib membantu Raja Badung.

Hidup di Telagigendong yang jauh dari pantai ternyata membuat tak nyaman kelompok Syekh Mukmin. Alasannya sederhana, mereka adalah pelaut. Maka kali kedua, Syekh Mukmin meminta agar Raja Cokarde Gombrang mengizinkan mereka pindah ke daerah pesisir.

Permintaan ini dipenuhi dan Cokarde menunjuk Pantai Serangan sebagai tempat tinggal kelompok Syekh Mukmin. Suatu ketika pasukan Raja Cokarde Gombrang kesulitan menaklukkan pasukan Desa Mangui yang dikenal kebal senjata. Cokarde kemudian menantang pasukan Bugis yang dipimpin Syekh Mukmin untuk menghadapi pasukan Mangui. Hasilnya menakjubkan, sekalipun hanya berkekuatan 45 orang, namun pasukan Bugis bisa menang bahkan berhasil membunuh Raja Mangui.

Sukses menaklukkan Mangui ini juga menjadi cikal-bakal munculnya nama Serangan. Nama ini terkait dengan pola penyerangan tiba-tiba yang dilancarkan pasukan Mukmin ke Mangui.

"Sebagai hadiah, Raja Cokarde Gombrang kemudian menyerahkan Pulau Serangan kepada orang-orang Bugis. Tapi Raja meminta agar tanah dan pulau ini tidak diperjualbelikan," papar Mansyur yang sehari-hari bertindak sebagai imam Masjid Assyuhada.

Satu hal yang sulit ditelusuri saat ini adalah mencari turunan langsung dari Syekh Mukmin. Walaupun Syekh Mukmin dimakamkan di pulau ini, namun tak ada yang mampu menjelaskan silsilahnya. Penduduk setempat juga tak ada yang menyatakan bahwa Syekh Mukmin pernah menikah dan beranak-pinak sebagai garis keturunan langsung.

Sementara penduduk Bugis Serangan yang ada saat ini adalah turunan dari anak buah atau kerabat Syekh Mukmin. Semisal Marjuki, 66, pria yang mendapat tugas merawat Alquran Abad 17 tulisan tangan. Marjuki adalah turunan langsung kedua dari Syekh H Alwi, pemilik dari alquran tersebut. Ada juga H Ahmad Sastra yang kini bermukim di samping Masjid Sangla, Denpasar. (Bersambung)

Alquran Tua dan Ritual 9 Muharram

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (2)

SETIAP 9 Muharram, umat muslim Pulau Serangan menggelar ritual dengan mengarak Alquran tua mengelilingi Kampung Bugis. Katanya, sebagai penolak bala.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

ALQURAN tulisan tangan yang saat ini "dirawat" Marjuki adalah satu dari tiga "pusaka" orang Bugis di Serangan. Karena usianya yang sudah memasuki abad keempat, maka kitab suci kaum muslim ini hanya dikeluarkan pada saat tertentu saja. Bahkan dengan alasan keamanan, Alquran ini terpaksa dipindah dari Masjid Assyuhada ke rumah Marjuki, pada 1999.

Saat BJ Habibie, mantan Presiden RI, meminjam alquran ini untuk dipamerkan di Masjid Istiqlal Jakarta, para peneliti menyatakan bahwa kitab suci ini dibuat pada Abad 17. Bahannya juga bukan dari kertas tapi kulit kayu.

Kondisi alquran itu sendiri hingga kini masih utuh 30 juz. Tebalnya 10 centimeter dengan ukuran seperti Alquran lainnya. Kulit luar berbahan plastik agak tebal warna hijau. Cukup jelas terlihat bahwa Alquran ini ditulis tangan dengan tinta hitam dan tinta merah untuk setiap kalimat "Bismillahirahmanirahim".

Ada dua versi tentang asal-usul Alquran ini. Menurut Mochammad Mansyur, 67, khatib sekaligus imam Masjid Assyuhada, Alquran ini dibawa Syekh Haji Mukmin dari Gowa. Sedang Marjuki mengatakan, alquran ini dibawa Haji Alwi dari Kalimantan. Namun tak ada bukti otentik yang bisa memperkuat kedua versi itu.

Haji Alwi sendiri tak lain adalah kakek kandung Marjuki. Dia datang ke Serangan setelah Syekh Haji Mukmin membangun kehidupan di pulau ini. Setelah Haji Alwi wafat, Alquran ini kemudian diwariskan kepada Siddiq, ayah kandung Marjuki.

Baik Mansyur maupun Marjuki juga tak bisa memastikan siapa penulis atau pembuat dari Alquran tersebut. "Setahu saya, Haji Alwi yang pelaut membawanya (Alquran itu) dari Kalimantan, dari Pontianak. Dia selalu keliling nusantara membawa Alquran ini hingga sampai di Serangan," tutur Marjuki saat memperlihatkan Alquran tua yang selalu terbungkus kain hijau diikat pita merah itu kepada Fajar.

Leluhur Marjuki berasal dari Wajo, Sulsel, termasuk H Alwi. Marjuki sendiri lahir di Serangan namun sangat fasih menggunakan bahasa Bugis. Masyarakat Bugis dan penduduk muslim lainnya di Kampung Bugis mempercayakan Marjuki untuk merawat alquran tua itu dengan alasan turun-temurun. Hal ini juga seolah menjadi pengakuan tidak langsung dari muslim Serangan jika alquran itu memang "milik" Haji Alwi.

Penduduk Kampung Bugis Serangan punya tradisi mengarak Alquran tulisan tangan ini keliling kampung setiap 9 Muharram. Alquran ini diarak sebanyak tiga kali. Beberapa tahun sebelumnya, ritual ini digelar pada tanggal 1,2, dan 3 Muharram berturut-turut tiga hari. Setiap hari diarak sekali keliling kampung.

"Ini dilakukan untuk menolak bala. Sekarang hanya diarak pada 9 Muharram tapi langsung tiga kali keliling kampung. Dipindah ke 9 Muharram untuk mendekatkan ke Hari Asyura, 10 Muharram," kata Mansyur yang dibenarkan Marjuki.

Jika ritual ini digelar, arak-arakan bukan hanya diikuti warga muslim saja. Umat Hindu yang mendominasi Serangan juga turut serta. Bahkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI yang mengaku memiliki nama Islam sebagai Abdullah juga tak pernah absen.

Umat Hindu dan orang Bali memberi apresiasi positif terhadap ritual ini. Orang Bali memanggil orang Islam Bugis sebagai "Nyama Selam" (saudara Islam, Red). Sungguhpun berlainan agama, mereka saling menghormati antara satu sama lain. Contohnya, semasa Nyepi orang Hindu, orang Islam tidak memasang pembesar suara di masjid mereka.

*****

DI Serangan, perkampungan Hindu dengan 73 keluarga muslim di Kampung Bugis tersekat dinding tembok setinggi 1,5 meter. Walaupun demikian, secara fisik masyarakat muslim dan Hindu tidak terpisah oleh dinding itu. Mereka tetap bergaul antara satu sama lain. Semisal melaut atau membuat kerja-kerja bakti bersama. “Kami tidak mempunyai masalah dalam kehidupan sosial harian kami,” kata Iskandar, pengurus Masjid Assyuhada.

Sehari-hari, asimilasi budaya juga menembus bahasa. Orang-orang Bugis tetap bertutur bahasa Bugis tapi juga sangat fasih bercakap dalam bahasa Bali. Ada juga beberapa orang Bali yang memeluk agama Islam, bahkan menikah dengan pria Bugis.

Di kala lepas Magrib, anak-anak muslim juga dengan bebasnya pergi mengaji di masjid. Tak jarang mereka "dikawal" teman mainnya yang beragama Hindu.

Pemeluk Hindu juga demikian adanya. Mereka mengaku sangat nyaman beribadah di empat pura besar yang ada di Serangan. Kebetulan, keempat pura ini: Pura Dalam Sakenan, Pura Dalam Susunan, Pura Khayangan Tiga (hanya 150 meter dari Masjid Assyuhada), dan Pura Cemara, termasuk gugusan pura purbakala.

"Kalau Nyepi, pemuda muslim yang jaga kampung. Sangat nyaman, Mas" ujar Gede, pemuda asal Sanur yang membawa Fajar ke Pura khayangan Tiga. (Bersambung)

Ketika Penyu tak Lagi Berlabuh

BUYUNGMAKSUM/FAJAR

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (3-Selesai)

LARANGAN penangkapan dan perdagangan penyu membuat nadi ekonomi orang Bugis Serangan merosot tajam. Ikan-ikan hias juga menghilang sejak pulau direklamasi.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

SEBELAS tahun lalu, Serangan masih terlepas utuh dari Pulau Bali. Antara kedua pulau ini dipisah oleh selat sepanjang satu kilometer. Ketika itu, satu-satunya rute menuju Serangan adalah melalui Pelabuhan Benoa dengan menggunakan speedboat sekitar 15 menit.

Hingga tahun 1996, orang Bugis Serangan terkenal sebagai pemburu penyu terkenal. "Saya cari penyu sampai di Buton. Saya jual berapapun pasti laris," kenang Marjuki, pria Wajo yang lahir, besar, dan membina rumah tangga di Serangan.

Menurut Marjuki, daging penyu merupakan makanan favorit orang Bali. Selain itu, kulit penyu juga diolah menjadi hiasan menarik dan bernilai mahal. Hasil tangkapan penyu nelayan-nelayan Bugis ini dijual ke pengusaha-pengusaha seantero Bali.

Namun setelah puluhan tahun, berkah dari penyu harus berakhir. Pada akhir 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan penangkapan dan perdagangan penyu. "Kalau berani jual penyu, barang disita, kami dipenjara 10 tahun," papar Mansyur, tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya juga berprofesi sebagai penangkap penyu.

Untuk bertahan hidup, orang-orang Bugis Serangan kemudian mencoba beralih ke ikan hias yang ada di pesisir pulau. Alih target seperti inilah yang dilakoni Usman, pria kelahiran Serangan pada 1973 dan mengaku leluhurnya berasal dari Soppeng. Kebetulan, Usman memiliki kemampuan menyelam seperti nelayan-nelayan Bugis di Sulsel.

Sayang, semua denyut ekonomi nelayan Bugis Serangan sulit di tahun 1996. Ketika itu PT Bali Turtle Island Development (BTID) melakukan reklamasi tujuan pembangunan kawasan perhotelan dan wisata di Pulau Serangan. Reklamasi ini membuat area Serangan bertambah dari 112 hektare menjadi 481 hektare.

Tanpa disadari, dampak reklamasi ternyata berimbas pada ikan-ikan hias yang menghidupi Usman dan kawan-kawan. Reklamasi telah merusak keaslian lingkungan di pulau itu. Terutama kawasan hutan mangrove. Akibatnya, ikan hias yang hidup di sekitar mangrove harus menjauh ke tengah laut untuk bertahan hidup.

Usman dan penangkap ikan hias lainnya tak punya pilihan. Mereka terpaksa menghentikan profesi sebagai penangkap ikan hias. Pola hidup masyarakat Bugis pun banyak yang mulai berubah dari laut bergeser ke daratan. Sejumlah pria Bugis kemudian beralih ke sektor pariwisata nonbahari seperti membuka biro-biro perjalanan. Kalaupun ada yang mencoba bertahan hidup, itu karena memang tak ada pilihan.

Dampak reklamasi juga mengubah jalur transportasi menuju dan dari Pulau Serangan. Reklamasi yang tidak pernah tuntas lantaran lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto itu memang telah membuka jalur darat Sanur-Serangan. Tak lagi melalui Pelabuhan Benoa.
Kedua daratan yang dulu sebelas tahun lalu masih terpisah ini kini dihubungkan sebuah jalan beraspal hotmix mulus sepanjang satu kilometer. Lebar jalan yang mirip jalan tol di Makassar ini sekitar 15 meter dan terbagi empat lajur.

Saat ini, untuk mencapai Serangan tak perlu lagi memanfaatkan jasa speedboat. Naik taksi sekalipun sudah bisa nangkring di depan lorong masuk ke Masjid Assyuhada. Melalui darat, cukup 20 menit dari Kota Sanur untuk mencapai Kampung Bugis di Serangan. Sementara dari Kota Kuta sekitar 30 menit.

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI, sendiri tak ragu jika penyatuan Pulau Serangan dengan daratan Bali ini akan mengubah kultur budaya Bugis yang hidup di daerah itu. Ida memastikan warga Bugis Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut; walaupun air laut asin, tapi ikan tidak asin. (***)

Penjara Abu Ghraib

GHRAIB merupakan penjara yang terletak di Abu Ghraib, Iraq, 32 kilometer di barat Baghdad. Bangunan penjara ini merangkumi 280 ekar (115 ha) dengan jumlah 24 menara kawalan. Terdapat lima kawasan berpagar dalam kawasan tersebut. Sel tahanan dalam penjara tersebut seluas empat kali empat meter dan mengurung 40 tahanan setiap satu. Pihak Pakatan Amerika Syarikat menggunakan tempat ini sebagai Kemudahan Pembetulan Baghdad, walaupun ia kekal dikenali dengan nama rasmi asalnya.

Pada penghujung April 2004, rancangan 60 Minutes menyiarkan cerita mengenai salah layanan dan penderaan tahanan Iraq oleh sekumpulan kecil tentera Amerika Syarikat. Cerita tersebut termasuk gambar penderaan tahanan, yang tidak sesuai bagi mereka yang berusia di bawah 17 tahun dan mereka yang tidak gemarkan keganasan atau gambaran seksual sederhana.

Semenjak kejatuhan regim Ba'athist Saddam Husain, penjara ini telah digunakan sebagai pusat tahanan oleh pakatan diketuai Amerika Syarikat yang menjajah Iraq, menahan lebih dari 5,000 orang, sesetengahnya dituduh pemberontak, sesetengah dituduh penjenayah dan yang lain tanpa tuduhan.

Laporan Jeneral TagubaMenurut laporan lima puluh tiga muka surat yang disediakan oleh Major General Antonio Taguba dari tentera Amerika Syarikat, ketika dalam tahun pertama penjara Abu Ghraib beroperasi di bawah seliaan Amerika Syarikat, dianggarkan 60% daripada tahanan di penjara Abu Ghraib bukannya "ancaman kepada masyarakat." Proses penyaringan amat lemah sehinggakan orang awam yang tidak bersalah sering ditahan tanpa had.

Seawal Jun 2003, Amnesty International menyeru penyiasatan berkecuali mengenai sistem tahanan Amerika Syarikat di Iraq, berasaskan gambaran tidak direkodkan mengenai keadaan di dalamnya.

Rujukan Seymour M. Hersh kepada laporan Jeneral dalam "Torture at Abu Ghraib" (Penyiksaan di Abu Gharaib), pada isu 10 May 2004 dalam The New Yorker. Tuduhan lain mengenai salah layanan yang serius oleh tentera Amerika Syarikat dan Birtish diacukan kepada pusat tahanan Abu Ghraib dan pusat tahanan lain di Iraq. Pada Januari 2004, seorang MP menjumpai gambaran digital mengenai penderaan pada CD-ROM ketika dia memproses gambar bagi rakan tentera.

Dia melaporkan gambar tersebut, menyebabkan komander pakatan Lt. General Ricardo Sanchez untuk memerintah Taguba untuk menyiasat. Dua penyiasatan lanjut turut dijalankan. Laporan rahsia Taguba, bertarikh 4 April 2004, menuduh penjara Abu Ghraib luar kawalan. Pengawal mencipta undang-undang mereka sendiri dan menyelia menurut pereturan mereka sendiri dan penyelia menyokong tindakan mereka. Kaki tangan tidak mengawasi tahanan, tidak mengira tahanan mereka, dan tidak menyimpak rekod mengenai beberapa dozen yang lepas lari.

Kemudahan ini mempunyai terlalu ramai tahanan dan terlalu sedikit pengawal. Latihan bagi pengawal tidak mencukupi, dan penyelia tidak membuat lawatan ke kemudahan ini secara sendiri. Pegawai tinggi tentera bertelagah samaada polis tentera atau perisik tentera sepatutnya berkuasa. Layanan tahanan berbeza antara giliran dan kawasan penjara. Laporan Taguba juga menuduh pegawai perisik dan anggota Kompeni Polis Tentera 372 "372nd Military Police Company", yang bertanggung jawab dalam keselamatan, terbabit dalam penderaan direkodkan.

Berlawanan dengan peraturan Tentera, komander membenarkan pegawai perisik untuk menggunakan polis tentera untuk "loosen up" (melemahkan) tahanan sebelum soal siasat. Pada masa laporan Taguba siap, 17 tentera dan pegawai, termasuk Brigadier General Janis Karpinski, dibebaskan dari bertugas. Enam tentera menghadapi perbicaraan tentera "courts-martial" dan kemungkinannya dipenjara disebabkan oleh peranan mereka dalam kejadian tersebut.

Tuduhan terhadap mereka termasuk cuai dalam tugas, salah layanan, serangan menyebabkan kecederaan "aggravated assault" dan memukul "battery". (***)

Irak, Negeri 101 Malam yang Jadi 1001 Masalah (Catatan Akhir Tahun 2006 Bidang Internasional)

OLEH: BUYUNG MAKSUM

Masalah SETIAP hari, penggali kubur harus membuat 476 lubang mayat. Hari-hari yang mencekam dan tak kunjung adanya kedamaian.SABTU hari ini adalah hari ke-1.376 Amerika Serikat (AS) dan sekutunya "menduduki" Irak. Waktu yang relatif sangat singkat untuk membunuh 655.000 rakyat di negara itu (Washington CyberNews). Ada 476 orang tewas setiap hari. Atau 2,5 persen jumlah penduduk Irak tewas akibat serbuan itu dan kekerasan setelah invasi AS pada 18 Maret 2003 (John Hopkins University).

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, hanya dalam rentang waktu Juli sampai Agustus 2006, sedikitnya 6.599 warga sipil Irak tewas. Umumnya adalah korban peledakan bom serta tembakan dan berbagai modus teror lainnya. Hampir 60 persen yang tewas adalah anak-anak dan orang dewasa berusia 15-44 tahun.Korban di kubu AS dan sekutunya juga tak sedikit.

Hitungan AFP berdasarkan angka-angka Pentagon, sudah 2.941 prajurit AS tewas. Jumlah korban bulanan tertinggi adalah November 2004, sebanyak 137 jiwa.
Sedang di bulan Desember 2006 ini, sedikitnya 58 nyawa prajurit AS melayang.

Irak juga menjadi "neraka" bagi kalangan jurnalis. Sepanjang tahun ini, 32 wartawan terbunuh di negeri itu. Total sudah 92 wartawan tewas di Irak sejak invasi. Belum lagi 37 pembantu wartawan seperti penerjemah, sopir, staf kantor dan lain-lain juga ikut terbunuh.Masalah Irak juga mencatatkan rekor baru bagi AS. Sejak menduduki Irak, dana yang digelontorkan Pentagon sudah menembus USD350 miliar (sekitar Rp3.210 triliun). Ini dana perang terbesar yang pernah dikeluarkan Pentagon sejak Perang Vietnam.

***

SEPERTI Indonesia, PBB juga tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan rakyat Irak dari pembantaian. Sekretaris Jenderal PBB yang akan melepas jabatan 31 Desember nanti, Kofi Annan, hanya bisa sedih. Kepada BBC, Annan mengakui kehidupan bagi warga kebanyakan Irak, kini lebih buruk daripada semasa Saddam Hussein berkuasa.

Di awal konflik, benar sebagai bentuk peperangan antara pemerintah Irak dengan pemerintah AS. Namun, ketika sekarang pemerintah Irak justru bekerja sama dengan pemerintah AS, bukannya membuat masalah di Negeri Abu Nawas itu membaik. Malah sebaliknya, konflik menjadi sangat kompleks. Sebut saja pertentangan antara kelompok Sunni dengan Syiah, konflik antara kaum perlawanan Irak dengan pemerintah Irak bentukan AS, atau dengan pasukan pendudukan AS, dan lain sebagainya.

Masalah Irak memang cuma satu dari sekian banyak konflik di dunia ini. Steven D. Strauss menyatakan bahwa dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang tidak pernah terlibat konflik. Namun konflik di Timur Tengah, terutama Irak, adalah konflik paling berdarah, paling berbahaya, dan paling banyak dipublikasikan media massa.

***

BAGI AS, konflik dan perang adalah bisnis model baru yang sangat menguntungkan. Cukup mencengangkan bahwa AS sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang, ternyata juga sebagai penjual senjata paling banyak di dunia. Irak sebagai musuh tetap AS dalam beberapa dekade ini mencatatkan diri sebagai negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pastinya, perang adalah bisnis besar.

Tak heran kalau AS teramat enggan angkat kaki dari Baghdad. Bahkan, kembali berencana menambah pasukan di Irak. Padahal, di Kamp Victory Irak, Robert Gates yang baru saja dilantik sebagai Menteri Pertahanan menggantikan Donald Rumsfeld mendengar langsung pengakuan para komandan perang AS. Termasuk dari Komandan Tertinggi AS di Irak, Jenderal George Casey. Rencana penambahan pasukan 20 ribu tentara AS dianggap hanya menimbulkan masalah baru.

***

SEBENARNYA masyarakat Irak, baik Sunni, Syiah, Kurdi, maupun nonmuslim lainnya, bukanlah masyarakat yang sektarian. Ini bukanlah slogan atau fantasi belaka, melainkan fakta yang sudah terbukti sepanjang sejarah Irak. Ratusan tahun bangsa Irak yang heterogen hidup berdampingan satu sama lain tanpa ada satupun kasus konflik sektarian. Isu konflik sektarian baru merebak ketika AS menduduki Irak, setelah Saddam Hussein terguling, dan setelah para ekstrimis asing berkeliaran di Irak.

Dari fakta sejarah masyarakat Irak ini, setidaknya ada lima solusi yang bisa membawa rakyat Negeri 1001 Malam itu hidup dalam damai. Solusi pertama, tentu saja AS harus dipaksa keluar dari Irak. Ini adalah langkah terpenting. Tanpa itu, upaya penyelesaian apapun akan sia-sia, dan hanya isapan jempol semata. Langkah kedua, mengadili AS, khususnya pemerintahan Bush dan para sekutunya. Pembantaian massal yang telah dilakukan oleh AS dan sekutunya tak boleh dilupakan. Sebab ratusan ribu nyawa anak-anak, wanita, orangtua, dan penduduk sipil yang tidak bersalah mati sia-sia. Solusi ketiga, menuntut AS dan sekutunya membayar ganti rugi bagi rakyat Irak. Keempat, membangun persatuan kaum muslim, khususnya di Irak.

Konflik berkepanjangan antarfaksi yang berbasis mazhab sebenarnya merupakan racun ashabiyah. Saling bunuh dan saling menghancurkan masjid antara Sunni dan Syiah adalah akibat fitnah dari negara asing. Hal terakhir adalah sumbangsih dan dukungan nyata negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap Irak, termasuk Indonesia. Jika Indonesia berani mengirim pasukan perdamaian ke Lebanon, mengapa ke Irak tidak?

***

UPAYA rekonsiliasi paling monumental bagi rakyat Irak sebenarnya baru terjadi sekitar satu setengah bulan lalu. Tepatnya, 20 Oktober 2006. Sebuah pertemuan digelar dan menghasilkan "Piagam Mekah" yang ditandatangani para pimpinan agama di Irak, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Kelompok bertikai dalam internal Irak sepakat menghentikan pertumpahan darah dan menyerukan penghentian perang antaretnik.

Di bulan yang sama, Perdana Menteri Irak Al-Maliki juga melontarkan strategi empat poin untuk mengatasi konflik. Di antaranya pembentukan dewan keamanan lokal, serta menolak penguasaan media massa. Tapi baik Piagam Mekah maupun strategi Al-Maliki ternyata tidak mampu meredakan konflik.

Malang yang terlalu banyak memang sudah melilit Irak. Sebanyak kisah yang dituturkan Abu Nawas dalam dongeng Seribu Satu Malam. Bedanya, malam yang dilalui Abu Nawas sangat indah. Sementara saat sekarang, malam yang ada penuh kegalauan, ketakutan, dan bayang-bayang kematian yang bermunculan di mana-mana. Tampaknya, gelar 1001 Malam itu, kini betul-betul berubah menjadi 1001 masalah. (***)

Kamis, 29 November 2007

Headline News yang Menyesatkan


PERNAHKAH anda melihat berita utama (headline news) koran nasional kita dengan judul: “Pemerintah Didesak...”, “Pengusaha Mengeluhkan…”, “Perlu Penanganan Khusus untuk ….”, “Pemerintah Perlu Tegas Soal…”, “Menteri Anu Bungkam Soal…” dan semacamnya?
Dengan segala maaf “berita-berita” semacam itu masih sangat banyak menghiasi halaman pertama koran-koran kita.


Mengapa saya menulis “berita-berita” dalam tanda petik? Saya yakin Anda paham maksudnya, yaitu bahwa sebenarnya yang tersaji di sana bukan berita. Yang tersaji di sana bukan peristiwa yang dilaporkan, tetapi “omong-omong” yang ditulis ulang oleh wartawan.

Berita berjudul “Pemerintah Didesak Tegas Soal Lumpur Panas Porong”, misalnya, sesungguhnya hanya berisi omong-omong wartawan dengan sumber-sumber tertentu tentang banjir lumpur panas di Porong Jawa Timur. Wartawan sadar bahwa kasus lumpur panas masih menjadi persoalan serius, tapi hari ini tidak ada “hal baru” untuk dilaporkan. Maka yang dimunculkan di media massa adalah “talking news” yang tidak mengandung kebaruan informasi sama sekali.

Tulisan semacam itu masih lumayan. Yang lebih menggelikan adalah berita-berita utama menjelang pemilu. Banyak koran yang menurunkan “talking news” politik yang tidak ada urusannya apapun dengan fakta di lapangan.

Memang bisa jadi ada “berita tersembunyi” di balik tulisan seperti itu (tetapi kalau ini yang terjadi, berarti wartawan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana menulis berita, atau tidak berani menulis lugas). “Pemerintah Perlu Tegas Soal Kargo Bandara” yang muncul baru-baru ini adalah talking news.

Berita sesungguhnya adalah “Banyak Penyimpangan Bidang Kargo Bandara”. “Pengusaha Minta Keringanan Pajak” adalah talking news. Di balik tulisan itu mungkin ada berita yang lebih lugas “Beban Pajak Terlalu Berat”, atau “Beban Usaha Terlalu Mencekik” dll.

Tetapi sering terjadi bahwa media yang bersangkutan sadar bahwa dia tidak sedang menulis berita, tetapi sedang menjalankan misi atau agenda politiknya. Misalnya saja tidak ada angin tidak ada hujan, sebuah koran terkemuka di Indonesia menyajikan tulisan utama di halaman satu dengan judul, “Pemerintah Harus Berpihak pada Petani”.

Pasti tulisan itu tidak mempunyai nilai berita apapun, dan koran yang bersangkutan pun pasti sadar akan hal itu. Tetapi koran yang bersangkutan merasa harus menurunkan tulisan itu, karena koran tersebut mempunyai misi membela petani, dan pada saat yang sama mulai kesal bahwa pemerintah tidak kunjung peduli pada nasib petani.

KETIKA seseorang membaca berita untuk tujuan ekonomi, perlu disadari bahwa media massa sering tidak bisa memenuhi harapan. Ada kalanya media memang tidak sadar akan makna ekonomi dari satu peristiwa, sehingga berita yang penting dalam perspektif kita akan disajikan sebagai berita kecil, yakni berita sekilas, berita satu kolom, berita dua kolom, atau berita kecil lain yang “nyempil” di halaman dalam.

Tetapi ada kalanya juga secara sadar satu media mengabaikan berita itu dan mengangkat berita lain yang menurut mereka lebih “layak berita” (memiliki nilai aktual, kedekatan dengan pembaca, unik, berdampak, menyangkut nama besar, terkait konflik, menyentuh).

Karena kondisi inilah para manusia ekonomi semestinya lebih teliti dalam membaca berita dan tidak terjebak pada bagaimana cara media massa menyajikan menu beritanya. Ada kalanya menu yang menurut media adalah santapan utama, tetapi bagi manusia ekonomi tak lebih dari cemilan sore. Sebaliknya ada berita kecil menurut media, tapi menurut manusia ekonomi adalah “makanan besar”.

Berita mengenai satu bengkel yang berhasil membuat biodiesel berbahan baku jagung pasti bukan berita besar bagi satu koran yang hobi dengan berita politik dengan segmen pasar pembaca perkotaan. Tetapi berita itu pasti memiliki nilai ekonomi yang sangat penting untuk para petani (khususnya petani palawija), untuk pedagang hasil bumi, untuk industriawan yang menekuni bioenergi, dll.

Karena itu mulailah lebih teliti dalam membaca berita, jangan terjebak dengan menu yang dikemas oleh media. Mulailah selalu dengan pertanyaan, apa manfaat ekonomi berita ini untuk saya. Lupakan di halaman mana berita itu ditempatkan, dan berapa besar kapling yang disediakan untuk berita itu. (*)

Rabu, 28 November 2007

"Mama... Perempuan Itu Benar-benar Telanjang..."

Menengok Aksi Striptis di Makassar

MELIUK, melepas pakaian satu per satu hingga telanjang bulat. Terus menari, napasnya pun terdengar naik turun. Striptis, demikian nama populer tari telanjang itu. ADA striptis di Makassar?

LAPORAN: Buyung Maksum
Makassar

JANGAN menutup mata, itu memang ada. Bahkan, lebih dahsyat dibanding pameran-pameran syahwat yang mulai lazim di sejumlah tempat hiburan malam (THM). Striptis yang benar-benar totalitas atau telanjang bulat.

Mau bukti? Berikut laporan hasil penelusuran saya di salah satu THM di kota ini yang menyediakan "fasilitas" striptis kelas wahid. Tentunya, setelah berbagai lika-liku dan tanya kiri tanya kanan. Namun atas pertimbangan tertentu, nama-nama dan lokasi yang ada di laporan ini disamarkan atau bukan identitas sebenarnya.

***

Jarum jam menunjukkan angka 23.30 Wita, 13 Februari. Dua mobil; sedan Suzuki Baleno diikuti Daihatsu Xenia yang masing-masing berpenumpang empat lelaki, pelan tapi pasti menyeruak di kesunyian sepanjang Jl AP Pettarani. Kedua mobil kemudian membelok ke Jl Urip Sumohardjo hingga Jl Bawakaraeng dan belok kiri ke Jl Jenderal Sudirman. Terus, hingga berbelok kanan ketika mencapai putaran di kawasan Makassar Mall.

Lagu teranyar milik kelompok musik Naff seolah menuntun empat penumpang yang ada di Baleno hitam untuk menyusur Jl Wahidin Sudirohusodo. Masih di pertengahan jalan, kedua mobil berbelok kanan. Tujuannya adalah “PM”, salah satu THM yang tak jauh dari Jl Andalas.

***

Suasana hall berukuran 17 kali 15 meter di lantai satu THM itu masih kurang ramai. Hanya beberapa deret sofa saja yang terisi, tentunya berpasangan; laki dan perempuan yang rata-rata berpakaian minim. Tak perlu mengeluarkan duit untuk masuk ke hall ini. Cukup pesan minuman, lalu nikmati live music ketika jarum jam tepat di angka 00.00 Wita.

Di pergantian hari, di panggung ukuran 14 kali empat meter di bagian depan hall muncul master of ceremony (MC).

"Selamat malam, selamat Valentine's day. Selamat menikmati malam Anda...," kata pria berkaus biru berbalut jas hitam yang bertindak sebagai MC.

Seorang penyanyi perempuan kemudian muncul dan mendendangkan lagu Mandarin. Tak lama, muncul dua perempuan muda yang hanya mengenakan bra dan celana dalam. Keduanya pun menari. Silih berganti, keduanya mendatangi dan bergoyang di depan hidung penonton.

Inikah striptis itu?

***

NYARIS tak ada yang istimewa dan hampir membosankan hingga jarum jam berpindah ke angka 02.00 Wita. Saat satu demi satu pengunjung hall berbalik badan; pulang ke rumah masing-masing atau ke tempat lain, sontak teman penulis,--sebut saja Sukri-- berkata, "Petualangan malam kita baru dimulai."

Kami berdelapan memilih tidak keluar dari THM itu. Seorang rekan,-- sebut saja Judi, selanjutnya mengarahkan kami beranjak ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar yang di pintunya terpampang angka 208.

"Ini Room 208. Banyak room seperti ini di sini, tapi jumlah pastinya saya kurang tahu," kata Judi yang mengaku memang sudah beberapa kali ke tempat itu.

Room seluas tiga kali delapan meter itu berisi satu kulkas dengan aneka minuman, sebuah televisi ukuran 29 inchi yang tersambung langsung ke bagian operator karaoke. Juga ada dua pasang sofa yang dijadikan satu dan menghadap ke televisi.

Tapi kami sudah tidak berdelapan lagi. Ada seorang perempuan yang menemani. Namanya, sebut saja Yusmin. Yusmin mengaku berusia 30 tahun dan berasal dari Bandung.

"Tapi tempat saya kerja di Samarinda. Saya dikontrak dua minggu di tempat ini," aku Yusmin yang bentuk tubuhnya terlihat melalui celana jeans ketat apalagi dipadu baju tanpa lengan berbalut rompi yang juga berbahan jeans. Dia juga cukup ramah.

Awalnya, Yusmin hanya menari mengikuti irama hentakan musik disko klasik. Tapi di lagu kedua, Yusmin mulai berani. Tak ada celana jeans, rompi, dan baju. Yang tersisa hanya bra dan celana dalam yang keduanya berwarna hitam. Dia terus meliuk. Mendatangi kami satu persatu dan mendesah seolah mengajak melepas syahwat.

Di lagu ketiga, Yusmin makin liar.

"Buka... bukaa... bukaaa...," kami mulai bersorak. Dahsyat, Yusmin pun melepas pengait bra yang memang berada di bagian depan. Sebelum melepas semuanya, dia menyebut dua aturan; tak boleh menyalakan lampu terlalu terang dan haram melakukan pengambilan gambar!Malam makin suntuk, kegilaan Yusmim juga makin menjadi. Tak puas dengan aksi itu, dia langsung melepas segitiga penutup auratnya.

"Mama... itu perempuan benar-benar telanjang," kata salah seorang teman--sebut saja Syarwan, seakan tak percaya.Ya, di depan kami, Yusmin, penari striptis itu benar-benar telanjang. Tanpa sehelai kain pun. Dia tak ragu mendatangi satu per satu pria yang ada di ruangan itu. Memainkan tubuhnya ibarat sementara menikmati making love (ML).

"Makassar sudah gila. Ini benar-benar edan," bisik Sukri kepada saya. Berapa bayaran Yusmin untuk "menari"?

Cukup lumayan, yakni Rp500 ribu per 30 menit. Itu baru bayaran Yusmin. Sementara biaya pemakaian room per tiga jam dipatok Rp250 ribu. Itu belum termasuk harga minuman dan tip. Tak cukup sejuta rupiah untuk menikmati "keliaran" Makassar, kota yang sedang menggalakkan gemar membaca ini.

"Pernah ada yang mengajak tamu yang mengajak berhubungan badan?" tanya saya.

"Sering, tapi saya tolak. Saya tidak pernah melayani permintaan seperti itu kalau sedang kerja," ujar Yusmin, datar.

"Ada yang pernah memaksa?" tambah saya lagi.

"Tak terhitung lagi. Kalau sudah begitu, saya langsung berhenti," jawab dia.

"Mau terima BL (boking luar, red)?" kejar saya.

"Itu urusan bos. Telepon saja, mungkin sempat. Tapi saya tidak mau "main" di kantor," ujar Yusmin menjawab permintaan Sukri yang mengajaknya show di kantornya.

***

TAK terasa, jarum jam sudah di angka 02.30 Wita. Artinya, Yusmin sudah selesai menjalankan "tugasnya". Kami memang hanya "dijatah" setengah jam untuk menikmati goyangan perempuan itu. Setelah menitip nomor telepon selularnya ke Sukri, Yusmin pun pamit. Dia meninggalkan kami yang masih melongo, tak percaya ada aksi seperti ini di Makassar. (***)

Selasa, 27 November 2007

Melirik RAPBDP Sulsel 2006

Obat Gubernur-Wagub
Dihargai Rp245 Juta

SUNGGUH enak jadi gubernur dan wakil gubernur Sulsel. Salah satu bukti, sekalipun tahun 2006 tersisa tiga bulan lagi, namun gubernur dan wakil gubernur Sulsel mendapat tambahan biaya pakaian dinas.

Jumlahnya memang masih jauh di bawah gaji pokok gubernur dan wagub yang berada di kisaran Rp60 juta. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (RAPBDP) Tahun 2006, pakaian dinas kedua pejabat itu naik menjadi Rp102.250.000.
Sebelumnya perubahan, nominalnya adalah Rp84.250.000. Dengan kata lain, ada penambahan biaya pakaian dinas gubernur dan wagub sebesar Rp18 juta, atau sekitar 21,36 persen.

Dalam RAPBDP memang belum dirinci besar besar alokasi biaya baju dinas untuk gubernur, dan berapa untuk wagub. Tapi ilustrasi itu bisa digambarkan pada alokasi anggaran sebelum perubahan.

Di APBD Tahun 2006, biaya pakaian sipil lengkap untuk gubernur mencapai Rp42.850.000. Sedang alokasi serupa untuk wagub sebesar Rp41.400.000.

Setelah ada penambahan, sesuai RAPBDP, maka diprediksi seorang gubernur dan wagub bisa membeli pakaian dinas seharga kurang-lebih Rp4 juta hingga Rp5 juta setiap bulan. Sekadar mengingatkan, uang untuk beli pakaian yang membalut di tubuh kedua pejabat itu bersumber dari keringat rakyat.

Selain biaya pakaian dinas, lonjakan drastis juga ditemui pada item biaya perawatan dan pengobatan gubernur dan wagub. Kenaikannya mencapai Rp40 juta sehingga total setelah perubahan Rp245 juta.

Pada APBD Tahun 2006, Gubernur Sulsel mendapat biaya perawatan dan pengobatan local sebesar Rp110 juta. Jika angka ini dibagi 12 bulan, maka setiap bulan seorang gubernur ‘wajib’ belanja obat sebesar Rp9,17 juta.

Untuk item serupa, wakil gubernur juga mendapat bagian yang tak sedikit. Nominalnya adalah Rp95 juta. Atau ada kewajiban bagi wagub untuk belanja obat Rp7,912 juta. Jumlah ini tentu saja lebih membengkak setelah perubahan APBD. (buyung maksum)

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (3-Habis)

Sang Asisten Sekadar Pembantu

DARI pemeriksaan awal hingga akhir, seluruh penanganan medis dilakukan dokter sesuai keahliannya. Sang asisten sebatas membantu penyediaan alat.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

BERBEDA dengan rumah sakit atau klinik yang ada di Indonesia, kelompok rumah sakit Parkway tak mengizinkan asisten dokter melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Sekalipun hanya memasukkan serum ke dalam tubuh. Pasien hanya ditangani dokter sesuai keahliannya.

Widjaja Luman, dokter spesial saluran pencernaan di Mount Elizabeth mengakui hal ini. Bahkan ketika penulis berkesempatan melihat proses endoskopi di klinik Widjaja, sang asisten hanya mendapat tugas; membersihkan, menyediakan, dan mengatur alat penunjang lain.

Padahal sumber daya manusia para asisten dokter di RS ini juga tak meragukan. Setidaknya, setara dengan dokter-dokter nonspesialis. Sebab sejatinya, status mereka memang sudah dokter. Tapi karena aturan Parkway yang mewajibkan pasien ditangani langsung dokter spesialis, membuat peran asisten sebatas menjadi tenaga pembatu dokter spesialis.

Tentu saja, ini yang sangat kontras dengan peran asisten dokter di Indonesia. Malah, di sebagian rumah sakit atau klinik di Makassar, peranan asisten dokter jauh lebih besar. Para asisten malah ‘leluasa’ melakukan ‘praktikum’ langsung terhadap pasien. Bisa menyuntik, menulis resep obat, bahkan ada yang ikut melakukan pembedahan alias operasi.

Pembatasan kerja asisten dokter juga berlaku di intensive care unit (ICU). Sama di perawatan lainnya, di ruang gawat darurat pun hanya dokter-dokter spesialis yang diperkenankan melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Semisal, hanya dokter ahli bedah tulang yang mendapat izin untuk menangani pasien kecelakaan.

Melihat kondisi ini, penulis teringat saat sebuah kecelakaan menimpa seorang teman enam tahun lalu. Korban kemudian dibawa ke rumah sakit terbesar dan terlengkap di Makassar.

Sampai di ICU, para tim medis yang bertugas segera mempersiapkan pertolongan pertama. Ada yang menyuntik, ada juga yang membersihkan luka-luka di tubuh korban. Setelah pertolongan selesai, saya baru tahu kalau mereka adalah dokter co-ast. Para ‘dokter’ ini dibantu siswa Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang sedang menjalani masa magang.

Kembali ke Parkway, ketentuan seperti ini mutlak berlaku, baik di Mount Elizabeth Hospital maupun di Gleneagles dan East Shore Hospital. Masing-masing rumah sakit ini memiliki dokter sendiri. Tapi untuk penanganan tertentu, Parkway Hospital akan memperbantukan tenaga medis dari salah satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang satu grup dengan mereka.

Dari tiga rumah sakit Parkway di Singapura, adalah Mount Elizabeth Hospital yang memiliki jumlah dokter terbanyak. Chairman Parkway Holdings Ltd, Richard Seow, melaporkan bahwa ada seribu dokter di Mount Elizabeth yang siap melayani perawatan umum. Sedang untuk tenaga ahli, rumah sakit ini punya 300 dokter ahli.

Teknologi terkemuka dan teranyar untuk pengobatan kanker juga berada di rumah sakit ini. Mount Elizabeth adalah rumah sakit pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas TomoTherapy Hi Art System. Dengan alat ini, kanker tidak akut bisa dimusnahkan hanya dalam tempo 20 menit.

“Dengan Tomotherapy, pengobatan kanker dilakukan langsung di sarangnya, tanpa merusak bagian tubuh yang lain. Dibanding kemoterapi, Tomotherapy jauh lebih sempurna,” papar onkologis, pakar spesialis kanker, Dr Ang Peng Tiam.

Tak hanya itu, Mount Elizabeth juga memiliki PET Scan, alat yang mampu memperlihatkan letak, struktur, dan anatomi suatu organ atau jaringan kanker serta mengenali metabolismenya. Dengan alat ini, para dokter bisa mendeteksi letak dan karakter kanker, sehingga bisa dihancurkan dengan akurat.

Selain Tomotherapy dan PET Scan, masih banyak layanan kesehatan lainnya yang tersedia di Mount Elizabeth. Mulai dari anastesi, kardiologi, dental surgery, dermatalogi, diabetes, diagnosa radiology, endokrinologi, gastroenterologi, hingga transplant. (*)

Catatan dari Parkway Hospital Singapura (2)

Dari Sultan Brunei ke Bupati Pangkep

KEMEWAHAN sebuah kamar istirahat bukan lagi semata milik hotel-hotel berbintang. Rumah-rumah sakit di Singapura malah memfasilitasi kamar mereka dengan ruang meeting dan lounge.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

DI Mount Elizabeth Hospital, ada dua kamar rawat yang sangat istimewa. Serba luks, ibarat mengaso di kamar hotel berbintang lima. Kamar super ini dilengkapi sebuah ruang meeting, lengkap fasilitas telepon dan faksimili, dan satu kamar keluarga pasien. Bahkan ada lounge.

Lebih istimewa lagi karena kamar ini dirancang dan dipesan khusus Sultan Brunei Darussalam, Sultan H Bolkiah. Mulanya, kamar ini dikhususkan untuk merawat salah seorang terkaya di dunia itu. Tapi saat ini, Bolkiah mengizinkan kamarnya untuk digunakan masyarakat umum.

Di Mount Elizabeth, kamar rawat Bolkiah ini dikenal dengan nama Royal Suite. Berada di lantai tujuh. Dari balik jendela, pasien bisa menyaksikan kemewahan, ketertiban, kehijauan, dan keramahan Singapura.

“Dulu, hanya Sultan Bolkiah yang menggunakan kamar ini. Tapi sekarang, Sultan mengizinkan untuk digunakan masyarakat umum,” kata Senior Marketing Manager Corporate Marketing Parkway Group Healthcare Pte Ltd, Ahmad Mahmud.

Namanya kamar mewah, harganya tentu juga wah. Semalam, tarif kamar berukuran 42 meter persegi ini mencapai 7.000 Dolar Singapura (SD1 setara dengan Rp5.900). Angka ini baru tarif kamar pasien. Harga yang sama juga berlaku untuk kamar keluarga dan ruang meeting.

Dua lantai di bawah suite Sultan Bolkiah, terdapat kamar rawat Bupati Pangkep Syafrudin Nur. Sama dengan Bolkiah, Syafrudin yang telah kembali ke Pangkep 10 September lalu juga hanya seorang diri di kamarnya. Hanya saja, tak ada kamar keluarga dan ruang meeting di kamar 5518 milik Syafrudin.

Karena fasilitas yang jauh berbeda, maka tarifnya juga dipastikan tak sama. Representative Manager Makassar Parkway, Sahel Abdullah, memprediksi tarif kamar yang ditempati Syafrudin tak kurang dari SD150.

Sejatinya, Parkway Group Hospital memiliki 1008 tempat tidur perawatan untuk pasien. Jumlah ini tersebar di tiga rumah sakit yang bernaung di bawah bendera Parkway di Singapura. Rinciannya, 123 kamar di East Shore Hospital, 380 di Gleneagles Hospital, ditambah 505 di Mount Elizabeth Hospital. (bersambung)

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (1)

Jalani Endoskopi Sambil Bercakap

ENDOSKOPI bukan lagi hal menakutkan. Sekalipun selang ‘mengobrak-abrik’ di bagian dalam tubuh, pasien tetap terjaga, bercanda, bahkan sama sekali tak merasa kesakitan.


LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

TAK terlihat kecemasan atau rasa sakit di wajah Suh Thong Hwan saat terbaring di salah satu bilik periksa di lantai sembilan Mount Elizabeth Hospital Singapura. Padahal, saat itu, sebuah selang berdiameter 1,5 cm sedang ‘bergerilya’ di usus 12 jari miliknya.

Sesekali, Suh malah bercakap dengan Dr Widjaja Luman, seorang consultant gastroenterologist and general physician, tepatnya ahli penyakit pencernaan atau hepar dan penyakit dalam di Mount Elizabeth Hospital. Intinya, pria yang sudah berumur 51 tahun itu tetap dalam posisi sadar penuh.

Dalam dunia medis, endoskopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan endoskop. Sedang endoskop adalah sebuah teropong untuk memeriksa rongga di dalam pembuluh, saluran dan liang yang sempit di beberapa bagian tubuh.

Saat ini, perangkat untuk endoskopi milik Widjaja Luman adalah satu-satunya sekaligus paling modern di Asia Tenggara. Di klinik atau rumah sakit lain, endoskopnya masih berupa selang diameter 2,5 cm dan dimasukkan melalui mulut atau anus.

Sedang endoskop milik Widjaja Luman dimasukkan ke tubuh melalui lubang hidung. Dengan cara ini, pasien lebih leluasa untuk berbicara. Pasien juga tak perlu menjalani pembiusan dan saa sekali tak tersentuh jarum suntik. Selama endoskopi berlangsung, pasien tetap sadar. Dia cuma merasa agak kembung.

“Sebenarnya, ini teknologi yang masih sederhana, belum hightech,” ungkap Widjaja Luman, saat ditemui Fajar di kliniknya, di Mount Elizabeth Hospital, Senin lalu.

Saat Suh menjalani endoskopi, seluruh isi perutnya terlihat jelas. Di layar monitor terpampang bagaimana lekak-lekuk usus, ginjal, dan saluran pembuangan milik Suh.

Untuk menjalani pemeriksaan endoksopi check up lemak seperti ini, Suh harus merogoh kantung sebesar 220 dolar Singapura (saat ini SD1 setara dengan Rp5.900, red).

Widjaya melaporkan, selama ini pasien terbesarnya berasal dari Indonesia termasuk Sulsel. Taksirannya mencapainya 60 persen, ditambah 30 persen warga Singapura, selebihnya adalah para ekspatriat.

Hanya saja, Widjaja tak bias membeberkan nama pasien asal Indonesia yang sudah berobat atau menjalani check up di kliniknya. Maklum, di bernaung di bawah bendera Mount Elizabeth Hospital, rumah sakit yang dikenal sangat ketat menjaga privacy pasiennya. (bersambung)