Selasa, 23 Desember 2008

terapi hidung, cobalah...

BREATHING THERAPY (HEADACHE & TIREDNESS) 呼吸治療法(頭痛及疲倦)TERAPI.


Our noses have left and right nostrils. Are these nostrils having the same function for inhaling (breathe in) and exhaling (breathe out)?

我們有左邊、右邊鼻孔,吸氣、吐氣時有沒有一樣?
Kita meiliki hidung berlubang disebelah kiri dan disebelah kanan, apakah fungsinya sama untuk menghirup dan membuang nafas?

Actually it's not the same and we can feel the difference. Accordingly, the right side represents the sun and the left side represents the moon.

其實不一樣,可以感覺不一樣;右邊等於是太陽的意思,左邊等於是月亮.
Sebenarnya fungsinya tidak sama dan dapat kita rasakan bedanya; sebelah kanan mewakili matahari (mengeluarkan panas) dan sebelah kiri mewakili bulan ( mengeluarkan dingin).

When having headache, try to close your right nostril and use your left nostril to do breathing for about 5 min. The headache will be gone.

平常頭痛時可以用手把右邊鼻孔關起來,只用左邊鼻孔吸氣、吐氣,約五分鐘,頭痛就好了。
Jika sakit kepala, cobalah menutup lubang hidung sebelah kanan dan bernafaslah melalui hidung sebelah kiri dan lakukan kira-kira 5 menit, sakit kepala akan sembuh.

If you feel too tired, do it the opposite way. Close your left nostril and breathe through your right nostril. After a while, you will feel refresh again.

如果疲倦、累了,相反的關起左邊的鼻孔,只用右邊吸氣、吐氣,不用多久,馬上精神好起了。 Jika Anda merasa lelah, lakukan bolak-balik. Tutup lubang hidung sebelah kiri dan bernafaslah melalui hidung sebelah kanan. Tak lama kemudian, Anda akan merasakan segar kembali.

Because the right side belongs to heat, so it gets hot easily. The left side gets cold easily.

因為右邊屬於火氣,比較會熱,左邊比較會涼。
Sebab lubang hidung sebelah kanan mengeluarkan panas, sehingga gampang sekali panas, Lubang hidung sebelah kiri mengeluarkan dingin..

Women breathe mainly with their left nostril, so they get calm down easily.

女生大部分吸氣、吐氣在左邊,所以心比較會涼快。
Perempuan bernafas lebih dengan hidung sebelah kiri, sehingga hatinya gampang sekali dingin.

Men breathe mostly with their right nostril, so they get angry easily.

男生大部分吸氣、吐氣在右邊,所以他們比較會生氣。
Laki-laki bernafas lebih dengan hidung sebelah kanan, sehingga gampang sekali marah.

When we wake up, do we notice which nostril breathes faster? Is it the left side or the right side?

我們起床時,可以注意哪邊吸氣、吐氣比較快?左邊或右邊?
Apakah Anda ada memperhatikan pada saat bangun, lubang hidung sebelah mana yang bernafas lebih cepat ? Sebelah kiri atau kanan ?

If the left nostril breathes faster, you will feel very tired. Close your left nostril and use your right nostril for breathing and you will get refresh quickly.

如果左邊比較快,覺得提不起精神,可以關起左邊鼻孔,用右邊呼吸,很快的精神會好起來。
Jika lubang hidung sebelah kiri bernafas lebih cepat, Anda akan merasa sangat lelah. Tutuplah lubang hidung sebelah kiri dan gunakan lubang hidung sebelah kanan untuk bernafas, Anda akan merasa segar kembali dengan cepat.

You can teach your kids about it. The effect of breathing therapy is much better for adults.

這也可以教給小孩,大人用更好。如果你有警覺心的話,速度更快。
Cara tersebut boleh diajarkan kepada anak-anak, tetapi efeknya akan lebih baik diterapkan kepada orang dewasa.

I used to have painful headache. When consulted a doctor, he told me jokingly," You will be all right if you get married!" The doctor did not bullshit me as he had his theory and supported with testimony.

以前我曾經頭痛,痛得非常厲害,去看醫生,醫生說 "你去結婚就好了!" 醫生說得沒錯,他有理論根據。
Saya biasanya merasakan sakit kepala, dan rasanya nyeri. Kemudian saya berobat ke dokter dan beliau mengatakan ,"Anda akan sembuh jika berumah tangga!" Dokter itu tidak bicara omong kosong. Apa yang dia sampaikan didukung dengan teori dan kesaksian.

During that time, I used to have headache every night and I was not able to study. I took medicine but I was not cured.

當時每天晚上都頭痛,沒有辦法看書,有吃藥,也不是辦法。
Pada saat itu, setiap malam saya merasakan sakit kepala dan tidak dapat belajar. Saya makan obat, tetapi tidak dapat sembuh..

One night as I sat down to medidate, I closed my right nostril and breathed with my left nostril. In less than a week, it seemed that my headache problem had left me! I continued doing it for about a month and since then there was no recurrence of headache in me.

有一天晚上靜坐,關起右鼻孔呼吸,這樣子做,不到一個禮拜,頭痛好了!持個月,從那天晚上到現在,一次也沒有頭痛過。
Pada suatu malam. saya duduk bersemedi dan menutup lubang hidung sebelah kanan dan bernafas dengan lubang hidung sebelah kiri. Dalam kurang dari satu minggu, sakit kepala saya sembuh. Saya teruskan melakukannya selama 1 bulan, sejak malam itu sampai sekarang , sakit kepala saya tidak kambuh lagi.

This is my own experience. I used to tell others who also suffer headache to try this method as it was effective for me. It also works for those who have tried as well. This is a natural therapy, unlike taking medicines for a long time may have side effect. So, why don't you try it out?

這是我自己親身經驗過,每一次我告訴別人,你們頭痛的話,試試看,因為我的身體有效種自然的處理,不像吃藥會有副作用,為什麼不用呢?
Ini adalah yang saya alami sendiri. Saya beritahukan kepada orang lain, jika sakit kepala, boleh mencoba cara tersebut, sebab sangat efektif buat saya. Banyak orang pun telah mencoba dan berhasil. Ini adalah terapi alami, tidak seperti memakan obat dalam jangka panjang akan ada efek sampingnya. Jadi kenapa Anda tidak mencobanya ?

Practice the correct ways of breathing (breathe in and breathe out) and your body will be in a very relaxing condition.

經常清楚的吸氣、吐氣,身體會覺非常輕鬆。
Selalulah mecoba terapi perrnafasan ini, tubuh Anda akan merasa sangat tenang sekali.


(From: Suska Dianingka
Subject: BREATHING THERAPY (HEADACHE & TIREDNESS) ?????(?????) TERAPI.
To: andriblues@yahoo. com
Date: Tuesday, December 23, 2008, 3:42 PM)

Jumat, 27 Juni 2008

Tujuh Pertimbangan dalam Jurnalisme Sastra

Oleh: Andreas Harsono

ISTILAH jurnalisme sastra adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Wartawan Amerika Tom Wolfe pada 1974 memperkenalkannya dengan nama “jurnalisme baru.” Ada juga yang memakai nama “narrative reporting”. Ada juga yang pakai nama “passionate journalism.” Tapi ada yang secara sederhana mengatakannya “tulisan panjang.”

Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai “in-depth reporting.” Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut. Tulisannya biasanya panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” dalam satu edisi majalah.

Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Di Indonesia, ada beberapa penulis yang punya kegemaran menulis panjang. Saya menikmati sekali buku Bondan Winarno, “Sebongkah Emas di Kaki Pelangi” atau artikel-artikel panjang George J. Aditjondro, misalnya, soal Arnold C. Ap, cendekiawan Papua yang mati ditembak tentara Indonesia pada April 1984. Atau kisah bertutur dengan ungkapan “saya” yang digunakan Goenawan Mohamad dalam laporan “Peristiwa `Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an.”

Memang reportase adalah bagian yang melekat dengan jurnalisme ini. Data-data diperoleh dari liputan di lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata.

Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca.
Saya sering ditanya apakah karya Seno Gumira Ajidarma “Saksi Mata” masuk dalam kategori jurnalisme? Saya akui karya itu sangat memukau.

Tapi karya itu adalah fiksi. Seno tidak menyampaikan fakta yang nyata. Nama-nama diganti. Tempat juga tidak disebutkan jelas. “Saksi Mata” adalah karya fiksi yang memakai data-data pembantaian Dili pada November 1991 sebagai ide cerita.
Ketika mendalami jurnalisme sastra di Amerika, saya selalu diberitahu adanya tujuh pertimbangan bagi seorang wartawan bila hendak membuat laporan dalam genre ini.
Fakta. Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata “sastra” tapi ia tetap jurnalisme Setiap detail seyogyanya berupa kenyataan. Nama-nama orang adalah nama-nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.

Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.

Orang mungkin bisa lupa. Orang mungkin bisa berubah persepsi bersamaan dengan perjalanan waktu. Tapi minimal, esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan dalam jurnalisme.

Kalau berbeda? Ada dua pilihan. Tidak dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi.

Tapi perbedaan bisa tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan.
Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar pertikaian yang ada?

Mohamad bercerita soal konflik antara para penandatangan Manifes Kebudayaan dengan para pendukung Lekra. Pertikaian ini termasuk besar. Ada polemik di surat kabar. Menteri ini bicara, tokoh partai itu membantah. Akhirnya, Mohamad dan para penandatangan Manikebu dikalahkan dan dilarang menulis.

Tapi konflik bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap mengembangkan kesenian Papua berbuntut ketegangan dengan pejabat militer dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati.

Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata, pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.

Karakter. Jurnalisme sastra mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu terikatnya suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).

Winarno bicara soal beberapa karakter dalam buku “Sebongkah Emas di Kaki Pelangi.” Ada karakter geologis Michael de Guzman. Ada juga rekan-rekannya dari perusahaan Bre-X. Namun ada juga orang penting Indonesia macam Bob Hasan dan Siti Hardiyanti Rukmana.

Winarno menganggap De Guzman, “meracuni” sample hasil pemboran sumur emas dan melakukan kejahatan untuk memperkaya diri sendiri. Winarno memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. Winarno melaporkan bahwa mayat yang diklaim sebagai mayat de Guzman tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti dalam rekaman gigi de Guzman.

Mohamad menggunakan dirinya sendiri, lewat penggunaan kata “saya,” sebagai karakter untuk mengikat eseinya. Aditjondro tidak menggunakan kata saya sebanyak Mohamad. Tapi kata itu muncul beberapa kali sesuai gaya Aditjondro.

Akses. Anda seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama. Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya. Winarno tentu tidak memiliki akses terhadap De Guzman. Orang Filipino itu dinyatakan mati atau menyembunyikan diri. Winarno menengok makamnya, mencari dokumen dan mewawancarai orang yang mengenal De Guzman.

Namun Aditjondro berhubungan dengan almarhum Arnold Ap. Aditjondro mengenal Ap dengan dekat. Mohamad juga kenal dengan orang-orang yang menandatangani Manikebu maupun mereka yang melawannya. Saya sering mengibaratkan akses kepada karakter utama ini dengan akses yang dimiliki oleh seorang penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi karakter utama. Soal percintaan, soal skandal, soal kejahatan dan sebagainya.

Emosi. Jurnalisme sastra membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa berupa pengkhianatan. Bisa berupa kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat. Oportunisme dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita kita seakan-akan hidup.

Emosi karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati mentornya atau tidak. Di sini mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau suaminya?

Perjalanan Waktu. Mungkin perbedaan antara jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme sastra adalah keterkaitannya dengan waktu. Saya mengibaratkan laporan suratkabar “hari ini” dengan sebuah potret. Snap shot. Sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.

Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki konsekuensi penyusunan kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya supaya pembaca tidak bingung?

Panjangnya waktu tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang operasi.

Kebaruan. Ada unsur kebaruan yang harus Anda pertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Kalau Anda hendak menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei 1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menjalankan ide ini.

Cukup banyak fakta yang sudah diungkap oleh orang lain soal G30S atau kerusuhan Mei 1998. Ini tidak berarti tidak ada yang masih tersembunyi. Saya percaya masih banyak hal yang belum terungkap dari dua peristiwa besar itu. Tapi bersiaplah untuk mencari fakta-fakta baru. Bersiaplah untuk menembus sumber-sumber yang paling sulit yang belum ditembus orang lain.

Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.

Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Hersey mempublikasikan karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.

Konon fisikawan nuklir Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena ia berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya. Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.

Apa artinya?
Sederhana saja. Einstein menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja. ***

Bahasa Jurnalistik Indonesia

Oleh: Goenawan Mohamad

BAHASAN jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa
jurnalistik Indonesia yang lebih efisien. Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas.

Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Di bawah ini diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke arah efisien penulisan. Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata, dan (2) unsur kalimat.

Penghematan Unsur Kata

1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti.

Misalnya:
agar supaya - agar, supaya
akan tetapi - tapi
apabila - bila
sehingga - hingga
meskipun - meski
walaupun - walau
tidak - tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri)

2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi
dari.

Misalnya:
”Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang”, menjadi ”Keadaan lebih baik dari sebelum perang”. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ”Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”.

3. Ejaan yang salah kaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf.
sjah - sah
khawatir - kuatir
akhli - ahli
tammat - tamat
progressive - progresif
effektif - efektif

4. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek.

Misalnya:
kemudian - lalu
makin - kian
terkejut - kaget
sangat - amat
demikian - begitu
sekarang - kini

Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.

Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata, dan (2) unsur kalimat.

Penghematan Unsur Kalimat (1)
Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.

1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
Misalnya:
• ”Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman”. (Bisa disingkat: ”Merupakan kenyataan, bahwa …..”).
• ”Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas”. (Bisa disingkat: ”Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro……”).

2. Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
Misalnya:
• ”Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri”? (Bisa disingkat: ”Akan terus tergantungkah Indonesia…..”).
• Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak”. (Bisa disingkat: ”Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak”).

3. Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; juga daripada. Misalnya:
• ”Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan”.
(Bisa disingkat: ”Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan”.
• ”Sintaksis adalah bagian daripada tatabahasa”.
(Bisa disingkat: ”Sintaksis adalah bagian tatabahasa”).

4. Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
Misalnya:
• ”Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India”.
(Bisa disingkat: ”Uni Soviet cenderung mengakui……”).
• ”Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami”.
(Bisa disingkat: ”Pendirian semacam itu mudah dipahami”).
• ”GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal”.
(Bisa disingkat: ”GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi…….”).
Catatan:
Dalam kalimat: ”Mereka setuju untuk tidak setuju”, kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

5. Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
Misalnya:
• ”Kera adalah binatang pemamah biak”.
(Bisa disingkat ”Kera binatang pemamah biak”).
Catatan:

Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ”Pikir itu pelita hati”. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ”Man is a better driver than woman”, bisa mengacaukan bila disalin: ”Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita”.

6. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu.
Misalnya:
• ”Presiden besok akan meninjau pabrik ban Goodyear”. (Bisa disingkat: ”Presiden besok meninjau pabrik….”).
• ”Tadi telah dikatakan ……..” (Bisa disingkat: ”Tadi dikatakan.”).
• ”Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: ”Kini Clay mempersiapkan diri”).
Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa
dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata, dan (2) unsur kalimat. Penghematan Unsur Kalimat (2)

7. Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
Misalnya:
• ”Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti”.
• ”Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat”.
(Bisa disingkat: ”Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat”.).
Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

8. Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu.
Misalnya:
• ”Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia”.
• (Bisa disingkat: ”Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia”).
• ”Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia”.

9. Pembentukan kata benda (ke + ….. + an atau pe + …. + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu.
Misalnya:
• ”Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan”. (Bisa dirumuskan: ”Tanggul kali Citanduy kemarin bobol”).
• ”PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta”. (Bisa dirumuskan: ”PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
• ”Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya” (Bisa disingkat: ”Ia telah tiga kali menipu saya”).
• Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai”. (Bisa dirumuskan: ”Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai”).

10. Penggunaan kata sebagai dalam konteks ”dikutip sebagai mengatakan” yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ”quoted as
saying”) tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita.
Kalimat ”Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan……” tak menunjukkan Dirjen Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ”Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan…..”.
Bukankah masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari
tangan pertama? Lagipula, seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian
sebagai biasa menimbulkan ekses. Misalnya: Ali Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: ”Itu akan dilakukan dalam tiga tahap”. Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros.

11. Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.

1) Dr. C. A. Mees, dalam “Tatabahasa Indonesia” (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ”tidak meniru jalan bahasa
Belanda”, dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman.
Misalnya: ”orang tempat dia berutang” (bukan: pada siapa ia berutang); ”orang kawannya berjanji tadi” (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?

2) Misalnya: ”Rumah dimana saya diam”, yang berasal dari ”The house where I live in”, dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ”Rumah yang saya diami”. Misal lain: ”Negeri dimana ia dibesarkan”, dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: ”Negeri tempat ia dibesarkan”.

Dari kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia.

1) hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:
Kompas, 4 Desember 1971:
”Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam”.
Sinar Harapan, 24 November 1971:
”Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap
9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.”
Abadi, 6 Desember 1971:
”Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor”.
Dalam ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:
• ”Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam”.
• ”Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam pengusutan”.

Perhatikan:
1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
2. ”dewasa ini sedang” cukup jelas dengan ”dewasa ini”.
3. kata ”9 buah” bisa dihilangkan ”buah”-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
• ”Selanjuntya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini (atau lebih singkat: Ini) secara tidak langsung telah dapat …. dst”.
Perhatikan: Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.

12. Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas.
Misalnya:
• ”Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik”. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
• ”Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di idang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain” (Kata kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara
implisit cukup jelas).

Tak perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan.

Kejelasan

Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:

1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca. Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang.
Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia.

Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok
pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi.

Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.

Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
• tanda baca yang tertib.
• ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
• pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea.

Cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.

Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
1. Unsur kata
2. Unsur kalimat

Kejelasan Unsur Kata
1. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.

Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan
sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.

Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan ”cutbrai”) tetap perlu.

2. Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.

Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ”Hankam”, ”Bappenas”, ”Daswati”, ”Humas” memang lebih ringkas dari ”Pertahanan & Keamanan” ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, ”Daerah Swantantra Tingkat” dan ”Hubungan Masyarakat”.

Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di
kalangan remaja sehari-hari: ”ortu” untuk ”orangtua”; atau di pojok koran: ”keruk nasi” untuk ”kerukunan nasional”) tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya ”Manikebu” untuk ”Manifes Kebudayaan”, ”Nekolim” untuk ”neo-kolonialisme”. ”Cinkom” untuk ”Cina Komunis”, ”ASU” untuk ”Ali Surachman”).

Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya ”Djagung” untuk ”Djaksa Agung”, ”Gepeng” untuk ”Gerakan Penghematan”, ‘’sas-sus” untuk ”desas-desus”.

Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim ”Gepeng”
jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna ”gerakan” dan ”penghematan” yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim ”ASU”.
Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam bahasa Indonesia.

Kejelasan Unsur Kalimat

Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.

Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

Contoh:

”Harian Kami”, 4 Desember 1971:
”Sehubungan dengan berita ‘Harian Kami’ tanggal 25 November 1971
hari Kamis berjudul: ‘Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek
Manipulasi’ (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua
Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di
Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf
JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan
Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk
mengadakan ‘clearing’ terhadap berita itu.”

Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya
memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan
sang wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara
yang disajikan di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat
tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang
kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang,
tapi juga si penulis sendiri.

Pedoman, 4 Desember 1971:
”Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka
mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.”
Perhatikan: Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri,
yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu
berarti, ”yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat
setempat.”

Sinar Harapan, 22 November 1971:
”Di kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat
beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran.
Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut
saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula
ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh
mereka.”

Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam
kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak
pernah menyebut ”orang-orang kampung”. Mengingat dekat sebelum itu
ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat
surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa
berarti aneh dan lucu: ”daging semur, opor ayam disantap bersama
oleh ketupat-ketupat. (*)

Terjebak Antara Pengarang dan Penulis

Oleh: Faisal Kamandobat

APA perbedaan pengarang (author) dan penulis (writer)? Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, apalagi bila disusul beberapa pertanyaan berikut: bagaimana membedakannya? Apa ukuran yang kita gunakan? Kenapa dibedakan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui persamaan pengarang dan penulis. Kerja keduanya sama-sama berhubungan dengan bahasa. Bahasa dalam pengertian paling luas dan mendasar: formula yang membentuk kesadaran (bahkan ketidaksadaran, menurut psikoanalisis) dan pandangan hidup manusia. Seandainya terdapat seorang pengarang atau penulis mengaku mampu bekerja tanpa bahasa, orang tersebut bisa dibilang sedang berdusta. Ibu guru memberi pelajaran mengarang, murid-muridnya menulis cerita. Pak guru memberi tugas menulis karya ilmiah, para siswa menulis laporan penelitian.

Mengarang sering diasosiasikan dengan karya sastra yang fiksional, sedangkan menulis dengan ilmu yang sifatnya faktual: seakan-akan mengarang sastra tidak memerlukan studi ilmiah, dan menulis karya ilmiah tidak memerlukan bahasa imajinasi yang fiksional.

Bukan bentuk, tetapi fungsi Kita akan tahu asumsi tersebut keliru. Terbukti dengan adanya karya ilmiah yang ditulis dengan bahasa literer atau kental unsur sastranya. Filsuf, ekonom, dan ilmuwan politik Karl Marx menulis karyanya dengan bahasa yang literer, penuh simbol dan metafora, contohnya dalam Capital. Demikian pula Darwin yang terkenal dengan bukunya, The Origin of Species.

Sebaliknya, terdapat banyak karya sastra yang penuh muatan ilmiah, dan mengolah fakta-fakta dengan metodologi tertentu. Umberto Eco misalnya, secara konsisten menggunakan logika abduksi sebagai metode dalam novelnya, The Name of the Rose. Demikian pula Jorge Luis Borges yang menggunakan labirin sebagai konsep (bahkan semacam metode) untuk membahas matematika dan metafisika dalam prosa-prosanya, khususnya Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, dan Perpustakaan Babel.

Artinya, asumsi tersebut keliru karena adanya kesalahan dalam menentukan kategori. Seseorang disebut pengarang bukan karena sifat karyanya literer-fiksional, dan disebut penulis bukan karena sifat karyanya ilmiah dan faktual (barang siapa tetap menggunakan kategori ini untuk membedakan pengarang dan penulis, jalan pikiran orang tersebut pasti akan tersesat). Yang membedakan keduanya bukan bentuk bahasa, melainkan fungsinya.

Fungsi bahasa bagi pengarang adalah untuk mencipta wacana, sementara bagi penulis untuk menyampaikan pesan. Marx, Darwin, Eco, dan Borges adalah pengarang, karena karya mereka melahirkan wacana. Sementara banyak karya sastra dan ilmiah yang tidak melahirkan wacana, dengan alasan yang berlainan; entah bahasanya kurang kuat, penalarannya kurang akurat, atau sekadar mengulang karya sebelumnya.

Seorang pengarang niscaya menempatkan bahasa sebagai basis dari gagasannya, melampaui fungsi instrumentalnya sebagai media komunikasi. Gagasan seorang pengarang memberi bobot baru terhadap bahasa, sehingga mampu mengubah struktur kesadaran, pandangan hidup, dan landasan baru dalam memandang dunia. Adapun penulis menjadikan bahasa semata sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan agar para pembacanya memahami makna yang disampaikan.

Pengaruh yang mendasar Apa yang membuat sebuah karya sastra dan ilmiah menjadi wacana sehingga penciptanya layak disebut pengarang? Pertanyaan itu juga tidak mudah dijawab, karena banyaknya ukuran yang bisa digunakan, dan jangan-jangan kita akan salah lagi (dan lagi) dalam menentukan kategori. Tulisan ini kembali berusaha menjawabnya, dan jika jawaban itu ternyata kelak bisa dibuktikan salah, maka itu berarti kita telah menawarkan sepercik gagasan kepada pembaca, dan oleh sebab itu bolehlah disebut sebagai “wacana”.

Sebuah karya ilmiah bisa menjadi wacana karena di dalamnya terdapat tiga hal.

Pertama, ide kreatif yang didukung dasar filosofi yang kuat. Marx bisa dikatakan adalah orang pertama yang mengemukakan hukum ekonomi sebagai hukum yang menentukan perkembangan masyarakat dan sejarah. Kebudayaan (seperti agama, negara, dan institusi sosial lainnya), dicipta semata agar manusia dapat mengatur kebutuhan ekonominya. Melalui budaya, agama, dan negara, manusia mendistribusikan kebutuhan ekonominya, bukan sebaliknya.

Kedua, gagasannya memiliki pengaruh melampaui disiplinnya, bahkan pandangan hidup secara keseluruhan. Sebelum Darwin, Lamarck telah menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia, tetapi Darwin-lah yang membuat teori evolusi berpengaruh melampaui disiplin biologi, seperti pandangan yang ditawarkan kitab suci serta dunia mitos. Lebih luas lagi gagasan Marx yang mengubah pandangan manusia tak semata secara teoretis, tetapi juga praksis. Kita tahu, di abad lalu komunisme menguasai sepertiga dunia.

Ketiga, pemikirannya dapat dibuktikan kebenarannya. Darwin melahirkan teori evolusi dengan melakukan observasi terhadap serangkaian fakta-fakta ilmiah, demikian pula Marx dengan teori ekonominya. Gagasan mereka bukan spekulasi penalaran belaka, melainkan didukung bukti-bukti empiris. Tanpa itu, gagasan mereka akan rapuh, persis seperti mitos-mitos yang ditentangnya.

Sastra tak jauh beda Bila karya ilmuwan menjadi wacana melalui tiga hal di atas, karya sastra tidak jauh beda. Membaca novel Eco, The Name of The Rose, kita akan mendapati ide yang didukung basis filosofis yang kuat, salah satunya bobot relevatif (kewahyuan) filsafat Aristoteles. Sebelum Eco mungkin sudah ada yang mengatakannya, tetapi Eco melakukannya secara lebih konstruktif dengan cara menghubungkan ide tersebut dengan berbagai ide yang menentang dan yang mendukungnya, termasuk filsafat Abad Pertengahan yang terkungkung teologi apokalipsis. Demikian pula Borges, yang secara konstruktif memberi bobot filosofis terhadap labirin, dan melalui itu ia mencipta model berpikir tertentu.

Karya Eco dan Borges juga berpengaruh hingga di luar disiplinnya. Novel Eco tak hanya mengubah pandangan manusia terhadap novel, tetapi juga terhadap agama dan filsafat Abad Pertengahan. Demikian pula Borges, karyanya berpengaruh secara generik terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Eco sendiri, bahkan Michael Foucault, adalah filsuf dan ilmuwan yang menimba ilham dari prosa-prosa Borges.

Lalu apa gagasan dalam karya sastra dapat dibuktikan secara ilmiah? Tak terhitung karya sastra yang penuh muatan ilmiah, karena sastrawan lazim menggunakan disiplin tertentu dalam menciptakan karyanya. Namun, bukan di situ posisi unik sastra dalam hubungannya dengan ilmu. Bila Marx dan Darwin mengajukan pertanyaan filosofis dan menyelesaikannya secara ilmiah, sastra membaca kesimpulan ilmiah melalui serangkaian pertanyaan imajinatif sehingga dari sana terbuka wilayah baru bagi spekulasi para filsuf dan ilmuwan, persis seperti pengaruh Borges dan Eco terhadap khazanah humaniora kontemporer.

Kita juga memiliki karya-karya ilmiah dan sastrawi yang sebetulnya memiliki karakteristik seperti karya-karya mereka yang “pengarang” dan bukan sekadar “penulis”. Pemikiran Tan Malaka, sajak-sajak Chairil Anwar, dan prosa-prosa Iwan Simatupang di antaranya.

Lalu kenapa karya mereka tidak punya pengaruh mendasar di luar disiplinnya? Jawabannya, karena mereka adalah orang- orang cemerlang yang hidup di tengah bangsa dengan tradisi pengetahuan yang buruk (kita berharap jawaban ini salah). Bangsa yang belum memiliki tradisi pengetahuan yang kuat membutuhkan banyak “pengarang”, bukan sekadar “penulis”.

Salah satu bukti karya ilmiah, filsafat, dan sastra yang melahirkan wacana adalah ketika ia menjadi tonggak dalam disiplinnya. Misalnya dalam membahas kapitalisme (baik ekonomi, politik, maupun budayanya) kita tidak bisa lepas dari landasan yang diberikan Marx. Begitu pula mengenai asal-usul manusia sulit lepas dari Darwin. Novel Eco tidak bisa dilewati ketika kita membahas dunia Abad Pertengahan, juga Borges dalam kaitannya dengan sastra filsafi dan fantasi.

Katakanlah, karya mereka memiliki otoritas terhadap wacana. Chairil Anwar memiliki otoritas terhadap puisi Indonesia modern. Sulit bicara puisi Indonesia modern tanpa Chairil Anwar. Demikian pula Tan Malaka dan Iwan Simatupang dalam filsafat dan prosa di negeri ini. Nama-nama mereka—termasuk tentu saja Marx, Darwin, Eco, dan Borges—sering disebut bukan sekadar nama melainkan semacam “istilah” yang merujuk pada gagasan tertentu yang pengaruhnya luas. Itu membuktikan mereka adalah pengarang (author), mempunyai “otoritas” terhadap wacana, dan bukan sekadar penulis (writer) yang menyampaikan sebuah “pesan”.

Apa yang kita inginkan, pengarang atau penulis? Kita tak bisa menjawabnya kecuali dengan berdusta. Karena, secara etos mereka yang penulis lebih elegan bila bekerja layaknya pengarang, sedangkan secara etis mereka yang pengarang lebih elegan bila tetap memandang dirinya sekadar penulis. Sejauh ditempatkan pada konteks etis dan etos itulah polemik seputar “kematian pengarang” (the death of author) yang diusung Roland Barthes dan ramai didiskusikan beberapa tahun silam di sini relevan untuk direnung.

Faisal Kamandobat: Penyair, Eksponen Bale Sastra Kecapi Yogyakarta
Rubrik Humaniora Kompas Sabtu 24 Maret 2007

Jumat, 16 Mei 2008

Tujuh Kriteria Sumber Anonim

PANTAU punya tujuh kriteria untuk sumber-sumber anonim. Kesemuanya dibahas agak panjang lebar dalam buku Warp Speed (1999) pada bab "The Rise of Anonymous Sourcing" (h. 33-42) karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, ketika mereka membahas pemakaian sumber anonim pada kasus Monica Lewinsky.

Pada dasarnya, kita harus ingat bahwa sumber yang anonim tak memberi kesempatan pada audiens kita (pemirsa, pembaca, pendengar) untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan mereka pada sumber bersangkutan. Ini praktek yang harus kita hindari karena kita harus bisa memberikan kesempatan kepada pembaca kita untuk menentukan sendiri; seberapa besar ia mau percaya pada suatu keterangan.

Seorang sumber anonim juga punya kecenderungan untuk lebih kurang bertanggungjawab ketimbang sumber yang sama tapi identitasnya disajikan dengan lengkap. Sumber anonim cenderung lebih sering "bernyanyi" --kedengarannya merdu, sensasional, tapi esensinya lebih kecil dari nyanyian.
Kita harus ekstra hati-hati dengan sumber yang minta diberi status anonim. Frase yang sering dipakai wartawan Indonesia, "menurut sebuah sumber yang layak dipercaya" --meminjam gurauan satiris kita Hamid Basyaib-- harusnya bisa kita artikan sebagai "sumber yang layak ditempeleng."

Jadi berpeganglah pada tujuh kriteria sumber anonim ala Kovach dan Rosenstiel. Seseorang bisa diberi status anonim bila ia memenuhi ketujuh syarat sebagai berikut:

1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama "peristiwa berita" yang kita laporkan. Artinya, dia menyaksikan sendiri, atau terlibat langsung, dalam peristiwa tersebut. Dia bisa merupakan pelaku, korban atau saksi mata, tapi dia bukanlah orang yang mendengar dari orang lain. Dia bukan pihak ketiga yang melakukan analisis terhadap peristiwa itu. Dia bukan berada pada lingkaran kedua, ketiga, dan seterusnya.

2. Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita buka. Unsur "keselamatan" itu secara masuk akal bisa diterima akal sehat audiens kita. Artinya, entah nyawanya yang benar-benar terancam atau nyawa anggota keluarga langsungnya yang terancam (anak, istri, suami, orang tua, saudara kandung). Kalau sekedar "hubungan sosial" yang terancam, misalnya pertemanan, maka ia tak termasuk faktor "keselamatan." Kalau sekedar "kelangsungan pekerjaan" yang terancam, masih harus diperdebatkan lagi, apakah benar dia akan kehilangan pekerjaan, dan apakah dia akan sulit mendapat pekerjaan baru?

3. Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. Kita harus mengukur apa motivasi si sumber memberikan informasi. Banyak kasus di mana si sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menghantam lawan atau orang yang tak disukainya. Banyak juga kasus di mana informasi anonim diberikan karena hal itu menguntungkan si sumber tapi ia mau sembunyi tangan.

4. Integritas sumber harus Anda perhatikan. Orang yang sering mengarang cerita atau terbukti pernah berbohong atau pernah menyalahgunakan status sumber anonim, tentu saja, jangan diberi kesempatan jadi sumber anonim Anda lagi. Periksalah integritas sumber Anda. Biasanya makin tinggi jabatan seseorang, makin sulit mempertahankan integritas dirinya, sehingga Anda harus makin hati-hati dengan status anonim. Kami praktis punya satu daftar hitam para pejabat atau mantan pejabat Indonesia yang tak boleh kita beri status anonim.

5. Harus seizin atasan Anda. Pemberian sumber anonim harus dilakukan dengan sepengetahuan dan seizin atasan Anda. Bagaimana pun juga, editor Anda yang harus bertanggungjawab kalau ada gugatan terhadap kinerja jurnalistik kita. Ini prinsip dalam pekerjaan jurnalisme. Editor punya hak veto terhadap suatu berita tapi si editor pula yang harus masuk penjara atau membayar denda bila kalah di pengadilan. Lebih baik kita berdebat duluan ketimbang ribut belakangan gara-gara suatu berita anonim digugat orang.

6. Ingat aturan Ben Bradlee. Bradlee adalah redaktur eksekutif harian The Washington Post zaman skandal Watergate. Bradlee pernah mengeluarkan sebuah aturan yang terkenal tentang pemakaian sumber anonim. Dia hanya mau meloloskan sebuah keterangan anonim kalau sumbernya minimal dua orang. Dalam film "All the President's Men," Anda akan mengenali adegan di mana Bradlee minta reporter Bob Woodward agar sumber anonimnya ditambah --untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang sama.

7. Bill Kovach sendiri menambahkan satu syarat lagi. Kita harus membuat sangat jelas dengan calon sumber anonim kita bahwa perjanjian keanoniman akan batal dan nama mereka akan kita buka ke hadapan publik, bila kelak terbukti si sumber berbohong atau sengaja menyesatkan kita dengan informasinya. Ini perjanjian yang berat karena konsekuensinya bermacam-macam tapi kita harus menjelaskan pada sumber persyaratan ini.
Kami mohon tujuh syarat ini kita perhatikan sebaik-baiknya. Kita tak punya uang untuk membayar pengacara atau denda. Pantau adalah media kecil. Bahkan untuk membayar gaji pun, kita tampaknya akan harus berusaha dan berpikir keras setiap bulan. Satu-satunya cara untuk menghindar dari keluarnya biaya besar ini adalah menjalankan prosedur jurnalisme dengan disiplin tinggi.

Banyak sumber juga tak tahu bahwa sumber anonim memiliki syarat-syarat. Kami harap Anda mau meluangkan waktu untuk menerangkan tujuh kriteria ini pada orang yang menghendaki status anonim. Dari pengalaman kami, setelah diterangkan panjang lebar, biasanya si sumber mengerti dan mau memberikan informasi dengan identitas lengkap (nama dan atribut). Mungkin informasinya tak spektakular tapi setidaknya ia bertanggungjawab terhadap informasi yang diberikannya.*

Selasa, 13 Mei 2008

Sembilan Elemen Jurnalisme

ANDREAS HARSONO

The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) 205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)


HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.

Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.

Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.


SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.


SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”*

Byline

Oleh ANDREAS HARSONO


Saya punya satu isu yang mungkin bisa kita diskusikan bersama. Ceritanya, 15 Desember lalu Bill Kovach, salah satu penulis buku "Sembilan Elemen Jurnalisme" dan seorang wartawan terhormat di Amerika, datang ke kantor harian Kompas. Kovach menemui Jakob Oetama dan Suryopratomo, masing-masing pemimpin umum dan pemimpin redaksi Kompas, di ruang kerja Oetama untuk diskusi selama satu jam, lantas Kovach menemui sekelompok wartawan Kompas untuk berdiskusi di sebuah ruang rapat. Ada sekitar 15 wartawan Kompas ikut di sana.

Diskusinya cukup menarik. Saya kebetulan ikut mengantar sehingga bisa mendengarkannya. Kovach sempat bertanya kepada para wartawan Kompas, "Mengapa suratkabar Anda tak memakai byline? Mengapa di halaman satu tak terlihat byline?"

Kalau ingatan saya tidak keliru, Bambang Wisudo, salah satu wartawan yang hadir, mengatakan kalau Kompas menggunakan byline bakal kelihatan kalau tulisan wartawan-wartawannya masih belum bagus. Tak semua wartawan bisa mendapatkan byline. Malu kalau pakai byline.

Kovach balik mengatakan bukankah itu esensi byline? Artinya, biarkan pembaca tahu mana wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukankah itu bagian dari "accountability" Kompas?

Jadi kalau Kompas memakai byline, orang bakal tahu siapa orang yang menulis laporan yang baik atau yang buruk. Bukan sebaliknya, menaruh semua tanggungjawab kepenulisan itu kepada institusi Kompas.

Wisudo bilang ini sudah tradisi Kompas. Ia mengatakan tak tahu jawaban pastinya. Wisudo mengatakan seharusnya Kovach tanya kepada "Pak Jakob."

Kovach mengangguk-angguk. Sayang, janji bertemu kedua kalinya dengan Oetama, karena kesibukan masing-masing, tak terlaksana sehingga pertanyaan itu pun tak bisa dilanjutkan Kovach kepada Oetama. Namun Kovach sempat melontarkan isu ini sekali lagi keesokan harinya, ketika ia muncul dalam acara Metro TV bersama Jason Tedjasukmana. Kovach mengatakan suratkabar Indonesia kebanyakan tak memakai byline dan ini menurutnya sebuah kekurangan.

Dalam bahasa Inggris, byline berasal dari kata "by" (oleh) dan "line" (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita dimana terdapat nama orang yang menulis cerita itu. Menurut kamus Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, kata ini masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Inggris, artinya terekam pertama kalinya dalam perbendaharaan bahasa Inggris pada 1938.

Kovach mengatakan pada sebuah diskusi lain bahwa byline dipakai pertama kali pada 1850-an oleh Charles S. Taylor, seorang jendral yang lantas jadi "publisher" harian The Boston Globe, sesudah perang saudara Amerika. Taylor sering jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul, "Berita Penting Jika Terbukti Benar." Ia memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita yang diterbitkan The Boston Globe.

Pemakaian byline ternyata membuat wartawan-wartawan The Boston Globe lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Ketika itu, sama dengan suratkabar-suratkabar Indonesia hari ini, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan. Namun inovasi Taylor ini perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain di Amerika Serikat.

Prosesnya tidak cepat. Butuh waktu lama untuk menyakinkan pada redaktur bahwa byline adalah masalah "accountability." Harian The New York Times baru mulai menerapkan byline pada laporan mereka, sebagai isu accountability, pada 1960-an.

Banyak redaktur hanya memberikan byline bila sebuah laporan dianggap punya kualitas bagus. Kalau biasa-biasa saja, tak diberi byline, cukup inisial di ekor karangan --yang sebenarnya menurut sejarah, lebih untuk fungsi administrasi internal.

Byline dianggap sebagai "reward" (hadiah) bukan "accountability" (pertanggungjawaban). Namun pemakaian byline untuk kolom opini lebih cepat diterima karena si suratkabar berpendapat isi opini tak harus mencerminkan opini institusi suratkabar.

Tapi hari ini, kalau Anda membaca The New York Times, The Washington Post, Wall Street Journal, atau suratkabar apapun di Amerika Serikat, byline sudah jadi praktek biasa. Semua laporan berita diberi nama wartawannya.

Saya kebetulan pernah bekerja untuk harian The West Australian (Perth), The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur). Di tiga harian ini byline biasa dipakai. Semua berita, kecuali berita dua kolom yang relatif pendek, diberi byline.

Di Indonesia, kebanyakan suratkabar tak memakai byline. Di Indonesia, accountability wartawan disembunyikan di balik tanggungjawab institusi. Padahal dua hal ini bisa dibedakan. Kalau seorang wartawan diberi byline, maka ia akan lebih bertanggungjawab terhadap isi laporannya karena publik akan tahu siapa wartawan yang bekerja secara relatif konsisten menghasilkan berita-berita yang bermutu. Juga sebaliknya, publik akan tahu wartawan mana yang pernah bikin salah.

Harian The Jakarta Post mungkin termasuk suratkabar pertama di Indonesia yang memakai byline. Menurut Endy Bayuni, wakil pemimpin redaksi The Jakarta Post, kebijakan ini dipakai sejak 1 Oktober 2001 ketika disain harian ini diubah --antara lain memakai warna merah pada logo mereka.

Endy mengatakan pada saya, hasilnya memang wartawan The Jakarta Post dipaksa menulis lebih baik karena kalau ada kesalahan atau ada yang melenceng, nama mereka bisa segera diketahui publik. Namun, hasilnya positif karena wartawan juga bisa membangun reputasi mereka.

Praktek byline juga dipakai majalah. Cuma di majalah, atau juga suratkabar kalau sebuah laporan dikerjakan ramai-ramai, harus dibedakan antara byline dan tagline.

Tagline adalah baris dimana nama para kontributor sebuah laporan diletakkan. Byline untuk penulis laporan. Sedang wartawan-wartawan lain yang memberikan bahan atau kontribusi untuk laporan itu dimasukkan dalam tagline. Ini penting dibedakan karena si penulis sering hanya memakai satu alinea saja dari si kontributor. Dan seringkali si kontributor yang jadi sasaran kekesalan orang kalau laporan mereka dianggap tak memuaskan. Padahal kontributor cuma setor laporan. Kebanyakan majalah Indonesia
menggunakan tagline tapi tanpa byline.

Sekarang mari kita perhatikan. Suratkabar dan majalah apa saja di Indonesia ini yang belum membawa prinsip accountability ke ruang redaksi mereka? Kalau Anda bekerja di media, tidakkah Anda tertarik untuk membawa isu ini ke rapat redaksi? Atau kalau Anda seorang pembaca, tidakkah Anda tertarik untuk bertanya kepada redaktur suratkabar langganan Anda, "Eh kenapa ya kita tak memakai byline?" *

Jurnalisme Sastrawi

OLEH: Andreas Harsono

SEMUA ini bermula dari keisengan belaka. Pada Maret 2000, dari sebuah apartemen kecil di dekat Harvard Square, jantung kota Cambridge, Amerika Serikat, saya mengirim sebuah email kepada dua mailing list yang anggota-anggotanya kebanyakan orang Indonesia: wartawan, seniman, dosen, peneliti, dan sebagainya.

Isinya sebuah pertanyaan yang diterangkan dengan agak panjang lebar. Mengapa di Indonesia tak ada surakabar di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?

Pertanyaan itu muncul sejak semester sebelumnya ketika saya mengikuti matakuliah non-fiction writing dalam program Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard. “Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?”

“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe,
wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Kritisi menanggapi, “Apanya yang baru?”

Maka pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.

Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang pakai nama "narrative reporting." Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh –tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motif, dan “how” menjadi narasi.

Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Orang mengandalkan media elektronik. Suratkabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan media cetak. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah. Judulnya “Hiroshima” karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima.

Pada Maret 1946 itu, The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan majalah tersebut. Banyak orang mengatakan The New Yorker adalah ikon dunia pemikiran di Amerika Serikat. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini.

Di Indonesia, kehidupan pers bebas baru mulai 1998 saat Soeharto ambruk kejeblok. Negara baru ini dibentuk pada 1950-an dengan menghancurkan semua suratkabar “peninggalan” kolonialisme Belanda. Tak ada garis sambung antara media pemula di Hindia Belanda –dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, Adi Negoro, atau J.H. Pangemanann– dan media pascakemerdekaan dengan tokoh macam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Joesoef Isak, Umar Said, serta L.E. Manuhua.

Buntutnya, republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Ia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritanya. Berapa wartawan yang bisa dan biasa menulis lebih dari 15,000 kata dalam satu cerita? Kebanyakan wartawan di negara baru yang didirikan dari Hindia Belanda ini tumbuh hanya dengan batas 1.000 atau 2.000 kata per cerita. Apalagi pada zaman Orde Baru.

Saya menulis bahwa di Indonesia genre ini tak berkembang karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media kecil yang memberikan kesempatan menulis panjang, itu pun kebanyakan esei, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Namun ukuran mereka relatif kecil, bukan media mainstream, dan isinya lebih banyak esei yang kering (kecuali mungkin Intisari), plus catatan kaki, daripada narasi yang bisa dinikmati orang banyak. Apakah jurnalisme sastrawi tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena zaman rezim Presiden Soeharto belum memungkinkan gaya begitu?

“Saya tidak tahu jawabnya secara persis,” kata saya.

Keisengan itu ternyata mendapat reaksi. Dari mailing list penerima beasiswa Fulbright Scholarship, ada jawaban dari tiga mahasiswa Indonesia yang sedang studi lanjut di Amerika: Fadjar I. Thufail, Biranul Anas, dan Wicak Sarosa. Dari mailing list Institut Studi Arus Informasi, saya mendapat jawaban dari Yosep Adi Prasetyo, Alip Kusnandar, Nirwan Dewanto, maupun Atmakusumah Astraatmadja.

Yosep Adi Prasetyo kritis mempertanyakan genre ini, “Saya kuatir penamaan-penamaan jurnalisme ini tak bermakna apa-apa, kecuali hanya ingin menandai serta membedakan karya yang satu dari karya yang lain.” Alip Kusnandar dari Makassar mempertanyakan apa sebenarnya ciri-ciri genre ini? Apa yang membedakannya dari jurnalisme biasa?

Fadjar Thufail mengatakan, “Menurut saya, kuncinya justru terletak pada Anda, atau kawan-kawan di sektor media, untuk mulai bereksperimen dengan segala macam kemungkinan genre penulisan. Saya yakin, sekali ada yang mulai, pasti nantinya kita paling nggak punya satu majalah semacam itu....”

Nirwan Dewanto menulis, “Penerbitan majalah yang bisa menyelenggarakan jurnalisme sastrawi (seperti The New Yorker) memang harus diusahakan atau kita usahakan bersama …. Namun, kalau berpikir tentang pembaca dan pasar, sampeyan pasti gemetar juga untuk membuat majalah ala The New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?” kata Nirwan.

Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, pesimis pada proposal Fadjar Thufail karena genre ini “tidak mungkin” berkembang di Indonesia. Pasalnya? Kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Para pengasuhnya, termasuk wartawan, sangat sedikit jumlahnya.

Astraatmadja memberi contoh. Harian Tifa Papua (Jayapura) hanya diasuh lima wartawan. Ada harian Palu dan Kendari yang hanya diasuh oleh kurang lebih tiga wartawan saja. Jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi. Sekarang, ketika media cetak jadi sekitar 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta, paling-paling wartawan bertambah menjadi 8.000-10.000. Bandingkan dengan Jerman, misalnya, yang 90.000, termasuk 40.000 wartawan freelance. Jadi ada kekurangan wartawan.

“Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurangnya tenaga wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk lebih
memusatkan perhatian pada, misalnya: peliputan penyidikan (investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme baru,” kata Astraatmadja, maka tak mungkin penulisan narasi bisa berkembang di Indonesia.

Debat itu sangat menarik. Ia berjalan hingga dua bulan. Saya puas dengan jawaban-jawaban yang muncul. Kesimpulan diskusi, tak mungkin bikin media dengan narasi di Jakarta. Negeri ini ditakdirkan bernasib malang!


ROBERT VARE seorang lelaki paruh baya. Rambutnya memutih. Dia biasa datang Jumat siang ke Lippmann House, Cambridge, naik mobil sedan warna hijau. Lippmann House adalah rumah petani yang diubah jadi kantor, perpustakaan, dan ruang kelas milik Nieman Foundation di Harvard University. Nama Lippmann, tentu saja, diambil dari teoritikus jurnalisme terkenal Walter Lippmann, penulis Public Opinion, buku babon jurnalisme awal abad ke-20. Harvard sengaja menamakan rumah itu untuk menghormati Lippmann.

Robert Vare pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan The Rolling Stones. Dia mengajar kelas narasi saya. “Kelas” mungkin pengertian yang agak kaku karena kami lebih sering diskusi di ruang yang hangat. Makan. Minum. Ruang kelas, pakai karpet tebal. Penerangan warna kuning hangat. Kursinya macam-macam. Ada sofa, ada kursi Victorian, terkadang malah tiduran. Seringnya, para murid membaca bergantian. Lalu saling memberi komentar. Ketika musim dingin, perapian dinyalakan.

Setiap Jumat, Robert membawa daftar bacaan. Truman Capote. Tom Wolfe. Joan Didion. Jimmy Breslin. Joseph Mitchell. John McPhee. Juga generasi baru. Mark Kramer. Susan Orlean. Andrian Nicole LeBlanc. Joseph Nocera. Mark Singer. Mark Bowden. Kami sampai “mabuk” karena tiap minggu membaca karya demi karya. Hampir semuanya bikin saya tercengang.

Menurut Vare, ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak menulis narasi.
Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.

Jurnalisme sastrawi bukan, bukan, sekali lagi bukan, reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sering orang salah mengerti. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak puitis. John Hersey menulis “Hiroshima” layaknya laporan suratkabar.

Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.

Saya sering ditanya apakah kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Adjidarma Saksi Mata masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi?

Adjidarma cerita soal pembunuhan orang-orang Timor Leste oleh tentara-tentara Indonesia pada November 1991. Ceritanya memukau. Tapi karya itu fiktif. Nama-nama diganti. Tempat tak disebutkan jelas. Adjidarma membuat cerita fiksi justru karena dia tak bisa menuliskan fakta. Harap maklum, rezim Soeharto dengan anjing-anjing penjaganya melarang media bercerita bebas soal pembantaian Santa Cruz 1991.

Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat bikin narasi, Anda sebaiknya pikir berapa besar sengketa yang ada?

Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antarkelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap, cendekiawan Papua, mengembangkan kesenian dan nasionalisme Papua berbuntut ketegangan dengan tentara Komando Pasukan Khusus dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati. Banyak sekali cerita di Republik Indonesia yang mengandung sengketa. Dari Sabang sampai Merauke, isinya banyak berdarah.

Namun sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering jadi sengketa. Pendek kata, konflik unsur penting dalam narasi. Dalam fiksi, seluruh cerita terkenal dibangun di atas gugusan konflik. Bahkan lapis-lapis konflik. Tanpa elemen konflik, orang tak akan membaca Harry Potter, bahkan kisah Cinderella atau Putri Tidur dan Tujuh Kurcaci.

Ketiga, karakter. Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian menarik. Tak datar dan tak menyerah dengan mudah.

Pada 15 November 1958, di kota kecil Holcomb, Kansas, terjadi pembunuhan terhadap bapak, ibu, dan dua anak keluarga Clutter. Ini keluarga petani. Mereka ditembak dengan senapan laras pendek. Jaraknya, dekat dengan wajah mereka.

Wartawan The New Yorker Truman Capote mengikuti kasus ini selama enam tahun hingga pemuda Richard Hickock dan Perry Smith ditemukan polisi, diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum gantung karena kasus tersebut. Maka Capote pun menerbitkan serial In Cold Blood di majalah The New Yorker. Dick dan Perry adalah karakter dalam cerita Capote.
Keempat, akses. Anda seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

Capote mengikuti kasus Dick dan Perry selama lima tahun, empat bulan, dan 28 hari. Capote menyaksikan penangkapan mereka. Pemeriksaan. Pengadilan. Hukuman. Capote juga menyaksikan ketika Dick dan Perry dihukum gantung. Serial itu dibukukan dan difilmkan. Capote punya akses yang luar biasa terhadap keduanya.

Kelima, emosi. Ia bisa rasa cinta. Bisa pengkhianatan. Bisa kebencian. Kesetiaan. Kekaguman. Sikap menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita Anda hidup. Emosi juga bisa bolak-balik. Mulanya cinta lalu benci. Mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan pemikiran. Capote menangkap emosi Dick dan Perry.

Di Indonesia, saya kira tidak susah mencari karakter dengan emosi. Mulai drama perlawanan orang-orang Acheh terhadap Jakarta hingga gerakan kemerdekaan di Timor Leste. Mulai diskriminasi terhadap orang Tionghoa –disuruh meninggalkan identitasnya, agamanya, namanya, dan dipaksa “berasimilasi”– hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang Madura di Kalimantan.

Keenam, perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Narasi macam video. Feature macam potret. Sekali jepret.

Vare menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik bagaimana agar pembaca tak bingung? Teknik-teknik ini diajarkan dan didiskusikan bersama selama setahun di ruang kelas yang hangat itu. Saya sangat menikmati masa dua semester bersama Vare.

Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. Cerita kehamilan bisa dibuat dalam sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun, dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang melahirkan.

Ketujuh, unsur kebaruan. Tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey mewawancarai dua dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, seorang penjahit, dan seorang pastor Jerman untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.
Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu cerita termasyhur dalam sejarah jurnalisme Amerika.

Pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli sejarah, wartawan, penulis, dan akademisi untuk memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat pada abad ke-20. Ini bukan pekerjaan mudah karena ada jutaan karya. Hasilnya, “Hiroshima” menduduki tempat nomor satu (Karya Rachel Carson soal DDT "Silent Spring" pada 1962 jadi juara kedua, sedang karya investigatif Bob Woodward dan Carl Bernstein soal Watergate untuk harian The Washington Post pada 1972-73 juara ketiga).*