Kamis, 27 Maret 2008

Selamat Datang Para Pembisik

Oleh: Buyung Maksum

PEMBISIK bukan hanya ada di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Tahun depan, “pembisik” bupati dan walikota pun dilegitimasi dalam sebuah peraturan pemerintah. Pembisik; seksi, basah, namun bisa juga jadi biang keributan.

Adalah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memungkinkan kehadiran “pembisik” tadi. Bukan hanya satu orang, tapi jumlahnya bisa tiga pembisik.

Tergantung dari tipe sebuah kabupaten/kota. Semisal, untuk tipe sedang seperti Soppeng, bupati Andi Soetomo berhak didampingi tiga pembisik.

Dalam PP tersebut, pembisik diberi status “staf ahli”. Mereka bertanggung jawab langsung kepada bupati. Ada staf ahli bidang pemerintahan, bidang pembangunan, dan bidang kemasyarakatan. Pada prinsipnya, lingkup tugas staf ahli ini sama dengan kewenangan para asisten.

Secara khusus, sebenarnya PP ini lebih mengatur tentang kelembagaan sebuah daerah. Jumlah OPD ini sangat bergantung pada skoring berbagai faktor. Seperti jumlah penduduk dan luas wilayah.

Untuk Soppeng yang berpenduduk 225.984 jiwa (BPS 2006) dengan luas wilayah 1.359,44 kilometer persegi. Maka jumlah skor untuk jumlah penduduk adalah 16 dan luas wilayah 14.

Sedang APBD meraih skor 15. Akumulasi skor adalah 45. Sehingga untuk penataan kelembagaan, pemerintah setempat bisa membentuk maksimal 15 dinas plus sepuluh lembaga teknis. Ditambah tiga staf ahli bupati.

Menetapkan dinas dan lembaga teknis tentunya bukan hal mudah. Butuh kreativitas pimpinan masing-masing daerah. Maklum, sangat susah menempatkan seorang pejabat tanpa harus mengorbankan eselon bersangkutan.

Di lain sisi, status dan jumlah kelembagaan juga jadi ajang pertaruhan martabat daerah. Sebut saja Kabupaten Bone yang memaksa peningkatan tipe Rumah Sakit Umum Tenriawaru melalui akreditasi. Setelah lolos akreditasi maka RSU ini kelak tak lagi dipimpin oleh seorang direktur.

Sesuai dengan PP Nomor 41 tadi, maka RSU Tenriawaru berubah menjadi badan dan dikomandoi seorang kepala. Pejabat yang memipin RSU ini bereselon IIb atau setara kepala dinas. Seandainya tak lolos akreditasi, RSU ini tetap dipimpin pejabat eselon IIIa.

Masalah eselon ini diatur dalam bab VII di PP tersebut, khususnya pasal 34 ayat 3 dan 4. Pada ayat 3 berbunyi; kepala biro, direktur RSUD kelas B, wakil direktur RSU kelas A, dan direktur RSU khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

Sementara pada ayat 4 tertulis; kepala kantor, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, kepala bidang dan inspektur pembantu, direktur RSUD kelas C, direktur RS khusus daerah kelas B, wakil direktur RSUD kelas B, wakil direktur RS khusus daerah kelas A, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan, merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

Sejatinya, prinsip dasar PP ini adalah penataan struktur dan efisiensi organisasi perangkat daerah. Hanya saja, maksud baik ini tak dibarengi perbaikan regulasi di sektor pengelolaan keuangan.

Revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 memunculkan keraguan itu. Karena dianggap terlalu mengekang improvisasi seorang bendahara, pemerintah kemudian merevisi aturan ini menjadi Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.

Hasil revisi sangat menakjubkan. Bendahara-bendahara OPD dengan leluasa berimprovisasi. Tak ada lagi rasa takut tersandung pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bendahara tak harus melakukan pembelajaan dengan pola terpaku. Pembelian sebuah jenis barang bisa diganti dengan barang lain meski harga pasar berbeda. Di pertanggungjawaban, tentu saja harganya sama. Apalagi soal manipulasi Permainan
Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).

“Semua bisa diatur,” kata seorang bendahara di salah satu OPD milik Kabupaten Luwu kepada saya.

Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 ini tampaknya sudah dirancang sedemikian rupa. Bahkan sejalan dengan PP Nomor 41 Tahun 2007 tadi. Dalam permendagri tersebut disebutkan, tak ada lagi nomor rekening bank untuk dinas pendapatan daerah (dipenda).

Imbasnya, para pengambil kebijakan di kabupaten/kota pun langsung merombak dipenda mereka. Lalu terbentuklah badan pengelola keuangan dan aset daerah (BPKAD). Sejumlah dipenda dilebur ke badan ini. Padahal, hingga detik ini, PP tadi belum berlaku efektif.

Sebelum melakukan perombakan, sebaiknya setiap pemerintah kabupaten/kota mencermati beberapa hal. Pertama, mengindentifikasi isu-isu strategis daerah yang merupakan kebutuhan riil daerah dengan persetujuan bersama stakeholder. Kedua, menyusun prioritas isu-isu strategis.

Ketiga, isu-isu itu kemudian dijadikan sebagai dasar atau tolok ukur pertimbangan utama dalam penyusunan OPD.

Semakin tinggi prioritas isu-isu strategis daerah, semakin besar susunan organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi urutan prioritas suatu isu strategis daerah berarti semakin besar masalah dalam masyarakat yang harus segera diselesaikan. Dengan demikian, tentu saja dibutuhkan OPD yang semakin besar pula.

Kembali ke “pembisik”. Di Sulsel, baru Bulukumba yang menolak posisi ini. Tak tempat bagi pembisik di sisi Sukri Sappewali.

Namun di Takalar, Ibrahim Rewa ternyata butuh pembisik. Ketua Komisi Pemerintahan DPRD setempat, Abdul Majid Makkaraeng, beralasan bahwa itu adalah amanah PP. Jika kelak aturan ini berlaku efektif, maka Takalar harus memangkas dua dinas.

Tentunya pekerjaan sulit bagi Rewa untuk menentukan siapa pejabat yang harus tergusur.

Mengenai pembisik, baik diminta maupun tidak, mereka berhak mengajukan pendapat dan saran kepada Rewa sesuai bidang keahliannya. Sekali lagi, diminta atau tidak.
Persoalan substansial dari PP Nomor 41 Tahun 2007 ini mungkin ada di posisi ini; staf ahli.

Sebab dipastikan, suatu saat, bisikan staf ahli akan bertentangan dengan saran dan kajian dari asisten. Maklum, staf ahli dan asisten memiliki leading sector sama namun tujuan pelaporan berbeda.

Nah, jika ini terjadi, maka naga-naganya adalah pertarungan antara bupati dengan sekretaris kabupaten. Sekali lagi, ini masalah kewenangan, status, dan tentu saja gengsi. (#)

Makassar, 28 Desember 2007

bang abraham


tidak penting mengetahui siapa kakekku, tapi yang lebih penting akan menjadi apa cucuku kelak...

Rabu, 26 Maret 2008

om bob




untuk secercah masa depan, anda tidak akan bisa melupakan setonggak masa lalu...