Minggu, 06 April 2008

eksekusi sinta

jakarta akhir desember 2007

UJUNG parang Dedi melekat di leher sinta. Saya dan Doel bertugas memegang kaki sinta. Kami mengambil posisi jongkok.

"Siap?" Tanya Dedi.

"Oke bos," jawab saya dibarengi anggukan Doel.

Mulut Dedi komat-kamit membaca mantera. Tak terdengar. Entah apa isi manteranya.

Sekelabat, parang Dedi mulai bekerja. Ke bawah. Ke atas. Bawah lagi. Atas lagi.

Sinta mencoba meronta. Kakinya menghentak cukup kuat. Tubuh saya bergetar. Doel malah mulai berkeringat. Kami berdua mempererat pegangan. Takut terlepas.

Darah segar muncrat dari leher sinta. Kulit dan daging leher menganga. Satu urat sebesar kelingking terputus. Ceceran darah terus mengalir. Semakin deras.

Dedi menggigit bibir bawahnya. Parangnya terus mencoba menggerogoti tulang leher sinta. Hingga akhirnya, "Krraaakkkkk.."

Parang nyaris mematahkan leher sinta. Hentakan sinta melemah. Nyawanya meregang. Badannya bergerak. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dua puluh detik berlalu sinta sudah tak bergerak. Mati.

Tangan saya tetap di kaki sinta. Doel berdiri. Menyeka keringat di dahinya. Dedi menarik secarik kertas koran untuk membersihkan parang. Eksekusi sinta berakhir. Tak ada penyelasan di wajah kami.

Bersama empat kawannya, sinta menjadi penghuni Gang Adam, Kebayoran Lama, Jakarta, sejak Selasa lalu. Saya memilih turut mengeksekusi sinta lantaran tergoda dengan penampilannya. Pantatnya montok. Bulunya lebat.

Sejak berada di Gang Adam, sinta sudah menarik perhatian banyak orang. Termasuk saya. Beberapa anak sering saya pergoki mencandai sinta. Ada yang membelainya. Ada juga yang memukul-mukul pantatnya. Sinta jadi idola.

Hingga akhirnya, tibalah hari eksekusi itu. Siang kemarin, bertempat di halaman seorang warga, sinta dan empat kawannya menghadapi sakratul maut. Kebetulan, saya kebagian tugas membantu eksekusi sinta.

Detik-detik jelang eksekusi, Dedi masih sempat mengasah parangnya. Saya melonggarkan otot-otot tangan. Mencoba pemanasan biar tidak kaku. Doel berusaha santai dengan merokok.

Lalu muncullah seorang lelaki tua sambil menarik sinta. Setengah memaksa. Saya menghela napas panjang.

Usai disembelih, saya mengambil sedikit daging sinta. Mau dibuat sate. Sinta adalah nama pemberian warga Gang Adam kepada seekor kambing yang menjadi hewan kurban pada Iduladha kemarin. (buyung)

3 komentar:

Eko Rusdianto mengatakan...

Wah, ta'bangkaka liat fotota. Keren sekali. Mirip Pak Aji Basyir, heeehe. Kasian Sinta.

Rumah Rindu mengatakan...

luar biasa...tulisan dan koleksi foto-fotonya. bang mauka komentar banyak tapi tidak ada ruang komentar selain disini. sy mau bilang "mataku berair kegirangan melihat Che Guevara, Gandhi dan Einstein dalam satu ruang" (boleh dibagi fotonya dong)..terakhir coment saya..menyentak tapi cool abiz!

fikar710 mengatakan...

ada yang ingin saya tanyakan bang :
1. mengapa nama sinta simbol tulisan kita, mengapa tidak santi, cecep, agus, atau sangkala?
2. ceritanya menarik tapi sekilas kita membacanya langsung habis, kenapa durasinya tidak di perpanjang amat di sayangkan?
3. sudut pandangnya juga keren, di selingi joke juga asik bang apalagi di pelesetkan ke nama-nama tokoh yg korup wah pasti menarik tuh?