Jumat, 18 April 2008

Hotel Rwanda, Live from Baghdad, Lord War

SUATU malam di pertengahan 2005, di Kebayoran Lama, Jakarta, saya memutar kepingan vcd bajakan. Ada dua kepingan. Di sampul luar tertulis “Hotel Rwanda”. Memang vcd sebuah film.

Berkisah tentang pria kulit hitam yang bekerja di Hotel Rwanda. Dia orang Tutsi. Istrinya dari Hutu. Rwanda kacau. Orang Tutsi mencari laki dan wanita Hutu. Tujuannya hanya satu: Bantai! Tiba-tiba saya teringat saat berada di tengah-tengah "perang saudara" di Ambon, awal 2004 lalu.

Ditemani seorang perempuan relawan berkulit putih, sang suami berusaha menyelamatkan keluarganya dan orang-orang Hutu lainnya. Tempat teraman di kota itu hanya di Hotel Rwanda. Sebab di hotel inilah para warga asing termasuk pekerja United Nations ditampung.

Meski Tutsi tetap Tutsi dan Hutu adalah Hutu, namun tetap ada balancing kemanusiaan di film ini. Antara istri, nyawa, atau ratusan nyawa lainnya yang berlindung di hotel itu.

Berkali-kali saya memutar kepingan film ini. Saya tidak bosan. Padahal semua yang menjadi tokoh di film ini saya tidak tahu namanya. Keseringan menyaksikan Hotel Rwanda membuat saya tiba di satu kesimpulan; dunia ini sangat tidak nyaman!

***

LALU suatu senja di penghujung 2005, saya berjalan-jalan ke Citraland Plaza di sudut Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Di basement, secara kebetulan tiba di penjualan vcd dan DVD. Mata tertarik ke sebuah sebuah sampul hijau. Di tengahnya tertera “Live from Baghdad”.

Ini kepingan vcd sebuah film. Katanya kisah nyata dari seorang wartawan sebuah televisi swasta yang bertugas di Baghdad, Irak. Saya tidak tahu siapa nama pemerannya.

Dia nyaris menjadi tokoh sentral di film ini. Tak ada “perlawanan” dari tokoh-tokoh lainnya. Film ini hampir mendekati kata; menjemukan.

Anehnya, berkali-kali saya memutar kepingan film ini. Hingga akhirnya saya sampai di satu kesimpulan; apa yang terpampang di Hotel Rwanda sudah benar.

***

SUATU sore di awal 2006, di kawasan Roxi, Jakarta, saya mampir di Studio 21. Setelah mencermati empat film yang diputar saat itu, saya memilih Lord War. Tokoh sentral diperankan Nicolas Cage. Begitu yang tertulis di awal film.

Sang pangeran selalu mencari kawasan merah. Kawasan yang siap membantai. Sebisanya, kawasan yang siap saling membantai.

Kalau tak dapat medan seperti ini, maka sang pangeran menciptakan kawasan itu. Penampilannya yang parlente sangat kontras dengan audiensnya.

Film itu tak banyak berkisah. Selalu fokus ke satu hal; pertempuran.

Meski bukan kisah nyata, namun tergambar jelas bagaimana sepak terjang seorang pialang senjata. Ketegangan adalah pangsa pasar. Pertempuran adalah perdagangan. Jika tak ada perang maka ciptakanlah.

Lord War memang diciptakan untuk menjadi pangeran perang. Meski hanya sekali menyaksikannya namun saya sudah memiliki satu kesimpulan; perang dan ketidaknyamanan diciptakan oleh segelintir orang!

Makassar, 18 April 2008. 20.00

Minggu, 06 April 2008

eksekusi sinta

jakarta akhir desember 2007

UJUNG parang Dedi melekat di leher sinta. Saya dan Doel bertugas memegang kaki sinta. Kami mengambil posisi jongkok.

"Siap?" Tanya Dedi.

"Oke bos," jawab saya dibarengi anggukan Doel.

Mulut Dedi komat-kamit membaca mantera. Tak terdengar. Entah apa isi manteranya.

Sekelabat, parang Dedi mulai bekerja. Ke bawah. Ke atas. Bawah lagi. Atas lagi.

Sinta mencoba meronta. Kakinya menghentak cukup kuat. Tubuh saya bergetar. Doel malah mulai berkeringat. Kami berdua mempererat pegangan. Takut terlepas.

Darah segar muncrat dari leher sinta. Kulit dan daging leher menganga. Satu urat sebesar kelingking terputus. Ceceran darah terus mengalir. Semakin deras.

Dedi menggigit bibir bawahnya. Parangnya terus mencoba menggerogoti tulang leher sinta. Hingga akhirnya, "Krraaakkkkk.."

Parang nyaris mematahkan leher sinta. Hentakan sinta melemah. Nyawanya meregang. Badannya bergerak. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dua puluh detik berlalu sinta sudah tak bergerak. Mati.

Tangan saya tetap di kaki sinta. Doel berdiri. Menyeka keringat di dahinya. Dedi menarik secarik kertas koran untuk membersihkan parang. Eksekusi sinta berakhir. Tak ada penyelasan di wajah kami.

Bersama empat kawannya, sinta menjadi penghuni Gang Adam, Kebayoran Lama, Jakarta, sejak Selasa lalu. Saya memilih turut mengeksekusi sinta lantaran tergoda dengan penampilannya. Pantatnya montok. Bulunya lebat.

Sejak berada di Gang Adam, sinta sudah menarik perhatian banyak orang. Termasuk saya. Beberapa anak sering saya pergoki mencandai sinta. Ada yang membelainya. Ada juga yang memukul-mukul pantatnya. Sinta jadi idola.

Hingga akhirnya, tibalah hari eksekusi itu. Siang kemarin, bertempat di halaman seorang warga, sinta dan empat kawannya menghadapi sakratul maut. Kebetulan, saya kebagian tugas membantu eksekusi sinta.

Detik-detik jelang eksekusi, Dedi masih sempat mengasah parangnya. Saya melonggarkan otot-otot tangan. Mencoba pemanasan biar tidak kaku. Doel berusaha santai dengan merokok.

Lalu muncullah seorang lelaki tua sambil menarik sinta. Setengah memaksa. Saya menghela napas panjang.

Usai disembelih, saya mengambil sedikit daging sinta. Mau dibuat sate. Sinta adalah nama pemberian warga Gang Adam kepada seekor kambing yang menjadi hewan kurban pada Iduladha kemarin. (buyung)