Kamis, 06 Desember 2007

Berawal dari Bushehr Project

Oleh: Buyung Maksum

25 MARET 2007, para perwakilan 15 anggota Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menyetujui sanksi terhadap Iran. Keputusan yang ditempuh melalui proses pemungutan suara itu menyetujui rancangan resolusi sanksi yang dibuat oleh Inggris, Prancis, dan Jerman itu. DK sepakat, maka jatuhlah Resolusi dengan nomor 1747 itu. Resolusi ini sekaligus menambah sanksi terhadap Iran, karena negara tersebut dianggap tidak mematuhi Resolusi Nomor 1737 tertanggal 23 Desember 2006. Resolusi No 1737 berisi kewajiban Iran untuk menghentikan upaya pengayaan uranium dalam rangka pengembangan nuklir.

Dalam jangka waktu 60 hari sejak disahkan resolusi 1737 itu, Iran diharuskan menghentikan kegiatan pengembangan nuklirnya. Tetapi, Iran menolak penghentian upaya pengayaan uranium, dengan argumentasi bahwa upaya mereka untuk kepentingan damai. Sebagai negara penandatangan NPT Nuclear alias Non-Proliferation Treaty (NPT), Iran merasa berhak mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Pemaksaan penghentian program nuklir Iran ini memang seolah tak adil. Sebab jika alasan keamanan di kawasan Timur Tengah, maka seharusnya negara-negara adidaya juga menjatuhkan sanksi terhadap Israel. Sebab di saat bersamaan, Israel juga sedang berupaya membangun program nuklir di negaranya.

Program nuklir bagi Iran bukanlah hal baru, terutama untuk sumber daya alternatif. Program seperti ini sudah digagas sejak tahun 1950-an. Saat itu, Iran menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) untuk pengembangan program nuklir guna pembangunan power plant. Melalui program pengembangan nuklir Iran ini, AS akan diuntungkan sedikitnya USD6 miliar.

Proyek nuklir pertama kali ini (Bushehr Project) dikembangkan dengan menggunakan teknologi dari Jerman. Proyek itu melakukan desalinasi air laut bagi pemenuhan kebutuhan air bersih untuk konsumsi harian dan irigasi di provinsi Bushehr. Saat itu hampir 90 persen proyek tersebut selesai dan 60 persen instalasi telah terpasang.

Namun, pada tahun 1979 program itu terhenti akibat terjadinya revolusi Iran yang menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi. Program itu kemudian tidak jelas, akibat adanya perang Irak-Iran yang mengakibatkan rusaknya power plant tersebut.

Program pengembangan nuklir ini kemudian dilanjutkan pada tahun 1995 dengan bantuan Rusia. namun saat itu, Iran telah mendapat tekanan dari AS untuk tidak melanjutkan program pengembangan nuklirnya. Sampai tahun 2005, proyek Bushehr belum selesai, padahal kebutuhan Iran akan energi terutama untuk pemenuhan tenaga listrik semakin mendesak. Apalagi Iran berharap pada 2010 sudah menghasilkan 6.000 megawatt listrik.

Sejatinya, rencana pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai ditunjukkan dengan adanya penandatanganan pemerintah Iran terhadap NPT pada 1968, yang kemudian diratifikasi oleh Parlemen Iran pada 1970. NPT mengakui ada tiga pilar dalam perjanjian itu. Pertama, yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir hanya lima negara, yaitu: Prancis, Tiongkok, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima negara itu tidak diperkenankan mentransfer teknologi senjata nuklir ke negara lain. Mereka juga sepakat untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-senjata nuklir.

Kedua, NWS didorong untuk merencanakan pengurangan persediaan senjata nuklir mereka di bawah kontrol internasional. Ketiga, negara penandatangan NPT mempunyai hak menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Dengan berdasar pilar ketiga inilah tampaknya Iran ingin mengembangkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka.

Dari catatan ini terlihat bahwa sah-sah saja jika Iran ngotot dengan pengembangan nuklirnya. Apalagi di Asia ada beberapa negara yang sudah mengembangkan nuklir. Bahkan mereka sudah mengembangkan senjata nuklir, yaitu India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. India pertama kali melakukan percobaan senjata nuklirnya pada tahun 1974. Pakistan melakukan hal yang sama pada tahun 1998. Diperkirakan India mempunyai lebih dari 150 hulu ledak nuklir. Pakistan mempunyai sekitar 60 hulu ledak nuklir. Sedangkan Israel yang mengembangkan senjata nuklir di wilayah Dimona, Nagev, sejak tahun 1958, mempunyai simpanan senjata nuklir cukup banyak, 100-200 hulu ledak nuklir nuklir.

Namun sikap dunia internasional, khususnya AS, terhadap negara-negara ini berbeda dengan sikap terhadap Iran. Jika kepada empat negara Asia dan Israel, AS melemah, tapi khusus bagi Iran negara adidaya itu melakukan pendekatan terhadap pemegang veto DK PBB untuk memberikan sanksi. Resolusi DK PBB Nomor 1737 yang dikeluarkan pada 23 Desember 2006 adalah keberhasilan AS.

Indikasinya, salah satu klausul dalam resolusi tersebut adalah keharusan Iran untuk menghentikan kegiatan pengayaan uranium dalam 60 hari setelah resolusi. Bila tidak, maka akan ada sanksi, tetapi tidak disebutkan sanksi militer.

Berpedoman pada pilar ketiga NPT, maka Iran tidak mau menghentikan pengayaan itu. Akibat sikap Iran itu, maka AS bersama sekutunya semakin meningkatkan tekanan dan hasilnya adalah DK PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1747. Sayangnya, Indonesia yang katanya punya sikap politik luar negeri bebas aktif, ternyata juga ikut-ikut memberi dukungan terhadap resolusi itu. (***)

Tidak ada komentar: