Minggu, 02 Desember 2007

Bukan Sembarang Waria

Komunitas Bissu di Bone (1)



BADANNYA memang kekar, namun, langkah dan gerak-geriknya lemah-gemulai bak wanita. Itulah bissu. Namun, jangan sekali-kali menyebut dan memanggil mereka waria, mereka tidak suka, bisa-bisa Anda akan dilempari dengan sandal. Begitulah peringatan seorang teman yang mengerti betul soal bissu.

LAPORAN: ASWAD SYAM

ANGEL membenahi peralatan pengantinnya saat saya bertandang ke kediamannya di Jl Pisang, Kelurahan Macege, Tanete Riattang Barat, Bone, awal September 2007 lalu. Maklum, waria yang memiliki nama asli Syamsul Bahri ini, di samping sebagai bissu, juga berprofesi sebagai "wedding organizer" di Bone. Tidak sedikit pasangan pengantin yang menggunakan jasanya untuk didandani agar kelihatan cantik saat duduk di pelaminan.

Bissu umumnya memiliki pengetahuan soal mantra pemikat, seperti, "naga sikoi" dan "cenning rara". Angel merupakan satu-satunya di Bone yang sudah menjalani prosesi dan ritual untuk menjadi bissu. Menurutnya, seorang bissu bukanlah waria sembarangan. Secara fisik dan gerak-gerik kata dia, bissu memang mirip dengan waria lainnya.

Namun dari sisi perilaku, mereka sangatlah berbeda. Untuk menjadi bissu kata Angel, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang, dan harus betul-betul panggilan nurani, juga seorang waria harus siap meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Agar mental itu betul-betul siap, seorang waria diharuskan magang di bissu-bissu tua yang digelari Puang Matoa atau Puang Lolo.

Setelah mentalnya siap menjadi bissu lanjut Angel, barulah dia menjalani prosesi Irebba (dibaringkan), yang dilakukan di loteng bagian depan pada Rumah Arajang. Waria yang akan dilantik menjadi bissu kata Angel, diwajibkan berpuasa selama sepekan hingga 40 hari. Setelah itu, bernazar (mattinja') untuk menjalani irebba selama beberapa hari, biasanya tiga atau tujuh hari. Lalu dia dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air.

Selama disemayamkan sesuai nazarnya, calon bissu dianggap dan diperlakukan sebagai orang mati. Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang sedang irebba. Setelah melewati ritual sakral itu, seorang waria resmi menjadi bissu. Sejak itu, seorang bissu tampil anggun (malebbi) dan senantiasa berlaku sopan.

"Saat itu juga, bissu yang baru menyelesaikan prosesi irebba, akan mendapatkan nama langit," ungkap Angel yang memiliki nama langit Sessung Riu'.

Bissu adalah sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno, sebelum pengaruh Islam masuk. Bissu, berasal dari kata Bessi, yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih.

Pada masa kerajaan Bone, Bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis. Sebagai penasihat spiritual kerajaan, seorang Bissu bukanlah orang sembarangan. Setelah resmi menyandang gelar Bissu, seseorang mulai belajar. Di antaranya mempelajari berbagai mantera, serta harus menguasai 40 cara melipat daun sirih (rekko' ota patappulo). Juga harus menguasai "memmang" (bahasa dewata), karena sebagai penasihat spiritual kerajaan, bissu bertugas menghubungkan alam manusia dengan alam dewata.

Sejatinya, lanjut Angel, walaupun Bissu ini adalah lelaki yang memiliki figur feminin, namun tidak boleh identik dengan perempuan. Sehingga unsur lelaki harus tetap ada, seperti memelihara janggut. Anting tetap boleh dipakai, namun ketika melakukan upacara ritual, anting itu harus dilepas. (*)

1 komentar:

fikar710 mengatakan...

apakah bissu berlaku khusus untuk bugis bone saja, bgmn dengan suku bugis yang lainnya?

apakah ada yang mempercayai bissu untuk jadi penasehat sedangkan bissu bertentangan dengan ajaran islam setempat apalagi jaman sekarang?