Senin, 10 Desember 2007

Pidato Pramoedya di Magsaysay

February 7, 2005

Sastra, sensor dan negara: Seberapa jauh bahaya bacaan?

Oleh: Pramoedya Ananta Toer *)

Saya warganegara Indonesia dari etnik Jawa. Kodrat ini menjelaskan, bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang didominasi oleh sastra wayang, lisan mau pun tulisan, yang berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, serta
kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada kewibaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta- kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali.

Pekerjaan pokok kasta satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria, yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan para raja menjadi mitos yang fantastik.

Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan
kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional.

Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mytos ini melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi
batin rakyat Mataram.

Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungan dengan negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan kastanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya adalah menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang
tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Pendapat ini yang membuat saya meninggalkan sama sekali sastra demikian.

Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, sejauh pengalaman saya, langsung saya bertemu dengan sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya peerhatian pada kekuasaan negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa
pembacanya berhenti di tempat.

Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya dianggarkan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi.

Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap dan sitiuasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak.

Sampai di sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevalusi kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan, bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah dikatakan pengarang - dengan sendirinya dari golongan ketiga ini - dinamai opposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang diri dalam kebisuan.

Di negara-negara dengan kehidupan demokratis beratus tahun kalah- menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang dijajahnya. Sebagai akibat di negeri-negeri jajahannya yang tak mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa dilahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional tentang gengsi pribadi dan panutan patrimonial.

Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade kedua abad ini. Sebelumnya atas karya sastra sensor lebih banyak ditujukan pada mass-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan.

Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum, dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat- setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.

Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan.

Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim terdesak kekuatan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa yang agraris kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot. Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "teposliro" (tahu diri),
kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai pada puncak kekuasaan. Penggunaaan eufemisme (= Jawa : kromo) sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan
menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi. Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra Indonesialah sensor kekuasaan bisa terjadi.

Ide-ide dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat modern Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa. Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya lembaga sensor memang perlu diadakan.

Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia di Jawalah penduduknya berkembang sebagai faktor-faktor klimatologis yang mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis
Belanda membuat Jawa jadi pusat imperium dunianya di luar Eropa. Dengan kepergiannya, masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat dihindarkan.

Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa menekan ini adalah "tepo-sliro", kehidupan kekuasaan sekarang dinamai dengan bahasa Inggris "self-cencorship". Nampaknya elite kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi
salah satu faset dalam kehidupan modern Indoensia bagaimana orang menyembunyikan atavitas/atavisme.

Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam sastra avant garde. Saya nilai pengarangnya mempunyai keberanian mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus
menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang merasa terancam kemapanannya.

Jadi sampai seberapa jauh karya sastra dapat berbahaya bagi negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia ditulis dengan nama jelas, diketahui dari mana asalnya, dan juga
jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan kekenyalannya.

Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant garde. Perubahan demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian
demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan peralihan pendudukan militeristis Jepang.

Dalam masa demokrasi liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila yang tak
banyak acuhkan, dalam masa demokrasi terpimpin, sewaktu Presiden Soekarno dengan segala konsekuensinya hendak mandiri dan mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingin para adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat.

Soekarno sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen, Declaration of Independence Amerika Serikat, dan Manifes Komunis dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang ditandai dengan gerakan de-Soekarnoisasi, rujukan-rujukan pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada upaya dari seorang sejarawan orde baru yang mebuat teori bahwa pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan ini tidak pernah terbukti ada karya sastra yang memberikan
pengaruhnya.

Dan memang sastra avant garde praktis belum pernah lahir. Karya-karya sastra Indonesia praktis baru bersifat deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir itu terjadi semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang terjadi sama kerasnya dengan penindasannya. Individu tersebut, Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah
Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironisnya masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak
tersebut dan umumnya tak dikaitkan dengan masa pendudukan militeris Jepang waktu ia menciptakannya.

Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya percaya bicara tentang sastra mana pun adalah juga bicara -walau tak langsung- tentang sastra regional dan internasional sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman umat manusia.

Berdasarkan historinya Indonesia memerlukan sebarisan besar pengarang dari golongan avant garde. Berabad lamanya rakyat bawah membiayakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme mereka kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau
feodalime sebagai suatu sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elite kekuasaan mencoba melestarikannya. Sstra avant gardelah yang menawarkan evaluasi, reevalusi, pembaruan, dan dengan sendirinya keberanian untuk menanggung resikonya sendirian.

Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant garde hanya mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkaran elit kekuasaan, yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa
terlepas.

Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya selama 35,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun dirampas kekuasaan militer semasa orde lama, dan 30 tahun semasa orde baru, di antaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16 tahun sebagai ternak juga hanya dengan kode ET, artinya tahanan di luar penjara. Sebagai pengarang barang tentu saya berontak terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini?

Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan.

Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa
seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi suatu kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik. Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada
kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan umat manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan dengan politik.

Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di tangan dan dari hati politisi yang kolot. Kalau ada yang kotor barang tentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sastra
sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari pikiran para pengarang yang politiknya adalah tidak berpolitik. Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian, ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana
eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang "menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.


*Pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika menerima penghargaan Magsaysay, di Manila.

lucu-lucuji kodong

Membaca Surat Nikah

Sepasang suami istri baru saja bertengkar selama beberapa waktu.
Setelah hati dan kepala mulai dingin, si istri menghampiri suaminya yang sedang melihat-lihat surat kawin mereka, "Apa yang sedang kamu lakukan?"
Si suami mencoba menyembunyikan dokumen yang ada di tangannya dan berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa."
Si istri yang telah melihat dokumen itu, sangat kecewa. "Tidak melakukan apa-apa? Aku melihatmu membaca surat kawin kita. Mengapa kamu berbohong! Kamu sudah mengamati surat kawin itu, dari atas sampai bawah, dibolak-balik lagi! Untuk apa itu?"
Merasa kesal, si suami berkata, "Baiklah jika kamu ingin tahu. Dari tadi aku sedang mencari tanggal kadaluarsa surat kawin ini!"


Lebih Satu


Dino punya adik yang masih duduk di kelas 2 SD, namanya Ary. Tapi ada yang aneh pada diri Ary dan membuat Dino tak habis pikir. Pasalnya, Ary selalu menjawab pertanyaan matematika dengan melebihkannya satu anga (5+5=11, 4+4=9....dst). Selain itu, dia selalu menghitung soal matematika-nya dengan tangan di dalam saku celananya. Aneh ya....
Belakangan Dino akhirnya tahu kenapa begitu lalu tertawa sendiri.
Ternyata kedua saku celana asiknya bolong, jadi pasti lebih satu terus jawaban soal matematikanya.....


Kurang Satu


Suatu hari di sekolah, Aryo ditest matematika oleh gurunya
Guru: Aryo, 5+4 berapa?
Aryo: 8 Bu
Guru: Kalau 3+5 berapa?
Aryo: 7 Bu
Guru:Kenapa sih jawabanmu selalu kurang satu?
Aryo: Soalnya jempol saya sakit, ngga bisa diangkat, jadi selalu kurang satu
Guru: ?????????


Si Bujang Mencari Istri

Seorang bujang mau menikah bertanya kepadaku soal tipe calon istrinya.
Bujang: Pak Pram, saya mau menikah.
Pram : Siapa calon istrimu...?
Bujang: Belum ada, makanya saya bertanya.
Pram : Baik, saran saya jangan cari istri sales atau perawat.
Bujang: Kenapa Pak...?
Pram : Kalau sales punya kebiasaan dalam hal tawar-menawar, nanti kebawa saat malam pengantin. Mau bayar segitu, kalau enggak ya udah. Kalau perawat, awas jangan banyak gerak, nanti kumat lagi. Awas jangan turun dulu, nanti saya suntik mati kamu.
Bujang: Lalu saya musti memilih siapa...?
Pram : Guru tari aja.
Bujang: Guru tari, kenapa...?
Pram : Kebiasaan di sanggar tarinya, akan terbawa sampai saat di malam pengantin. Awas hati-hati kalian, yang di depan luruskan. Bagus sekali Mas, ayo kita ulangi lagi, pinter.....


Kecelakaan pesawat

Sebuah pesawat yang sedang mengangkut 100 penumpang mengalami kecelakaan terjatuh di laut. Dari 100 penumpang hanya tiga yang selamat. Yang pertama berasal dari Inggris. Yang kedua berasal dari Prancis. Yang ketiga dari Indonesia. Mereka bertiga terapung-apung di tengah lautan sambil menanti pertolongan.
Namun tiba-tiba keluarlah seorang jin penunggu lautan tersebut dan berkata pada tiga orang tadi bahwa masing-masing akan dikabulkan satu permintaannya.
Orang Inggris meminta pada jin, "Om jin, saya adalah anggota parlemen di London. Kehadiran saya sangat dibutuhkan, maka kembalikan saya ke sana."
Dan dalam sekejap orang tersebut menghilang.
Orang Prancis meminta kepada jin, "Om jin, saya seorang direktur sebuah perusahaan. Kehadiran saya sangat dibutuhkan juga, maka kembalikan saya ke Paris."
Dan dalam sekejap orang Prancis pun menghilang.
Tiba giliran orang Indonesia ia berkata, "Waduh Om jin, koq jadi sepi di sini yah... tolong balikin dua teman saya tadi."
Dan sekejap dua orang tadi pun kembali di situ dan om jin pun menghilang.


Permintaan Terakhir
Terpidana Mati

Pada suatu hari seorang terpidana akan di eksekusi hukuman mati karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan berantai.
Sebelum terpidana tersebut di eksekusi oleh regu penembak, seorang kepala regu penembak menanyakan permintaan terakhir sang terpidana.
"Apa permintaan terakhir kamu sebelum ditembak mati?" tanya kepala regu pada terpidana.
"Tolong senapannya diarahkan ke orang lain, Pak!" jawab sang terpidana.

Kamis, 06 Desember 2007

Berawal dari Bushehr Project

Oleh: Buyung Maksum

25 MARET 2007, para perwakilan 15 anggota Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menyetujui sanksi terhadap Iran. Keputusan yang ditempuh melalui proses pemungutan suara itu menyetujui rancangan resolusi sanksi yang dibuat oleh Inggris, Prancis, dan Jerman itu. DK sepakat, maka jatuhlah Resolusi dengan nomor 1747 itu. Resolusi ini sekaligus menambah sanksi terhadap Iran, karena negara tersebut dianggap tidak mematuhi Resolusi Nomor 1737 tertanggal 23 Desember 2006. Resolusi No 1737 berisi kewajiban Iran untuk menghentikan upaya pengayaan uranium dalam rangka pengembangan nuklir.

Dalam jangka waktu 60 hari sejak disahkan resolusi 1737 itu, Iran diharuskan menghentikan kegiatan pengembangan nuklirnya. Tetapi, Iran menolak penghentian upaya pengayaan uranium, dengan argumentasi bahwa upaya mereka untuk kepentingan damai. Sebagai negara penandatangan NPT Nuclear alias Non-Proliferation Treaty (NPT), Iran merasa berhak mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Pemaksaan penghentian program nuklir Iran ini memang seolah tak adil. Sebab jika alasan keamanan di kawasan Timur Tengah, maka seharusnya negara-negara adidaya juga menjatuhkan sanksi terhadap Israel. Sebab di saat bersamaan, Israel juga sedang berupaya membangun program nuklir di negaranya.

Program nuklir bagi Iran bukanlah hal baru, terutama untuk sumber daya alternatif. Program seperti ini sudah digagas sejak tahun 1950-an. Saat itu, Iran menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) untuk pengembangan program nuklir guna pembangunan power plant. Melalui program pengembangan nuklir Iran ini, AS akan diuntungkan sedikitnya USD6 miliar.

Proyek nuklir pertama kali ini (Bushehr Project) dikembangkan dengan menggunakan teknologi dari Jerman. Proyek itu melakukan desalinasi air laut bagi pemenuhan kebutuhan air bersih untuk konsumsi harian dan irigasi di provinsi Bushehr. Saat itu hampir 90 persen proyek tersebut selesai dan 60 persen instalasi telah terpasang.

Namun, pada tahun 1979 program itu terhenti akibat terjadinya revolusi Iran yang menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi. Program itu kemudian tidak jelas, akibat adanya perang Irak-Iran yang mengakibatkan rusaknya power plant tersebut.

Program pengembangan nuklir ini kemudian dilanjutkan pada tahun 1995 dengan bantuan Rusia. namun saat itu, Iran telah mendapat tekanan dari AS untuk tidak melanjutkan program pengembangan nuklirnya. Sampai tahun 2005, proyek Bushehr belum selesai, padahal kebutuhan Iran akan energi terutama untuk pemenuhan tenaga listrik semakin mendesak. Apalagi Iran berharap pada 2010 sudah menghasilkan 6.000 megawatt listrik.

Sejatinya, rencana pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai ditunjukkan dengan adanya penandatanganan pemerintah Iran terhadap NPT pada 1968, yang kemudian diratifikasi oleh Parlemen Iran pada 1970. NPT mengakui ada tiga pilar dalam perjanjian itu. Pertama, yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir hanya lima negara, yaitu: Prancis, Tiongkok, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima negara itu tidak diperkenankan mentransfer teknologi senjata nuklir ke negara lain. Mereka juga sepakat untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-senjata nuklir.

Kedua, NWS didorong untuk merencanakan pengurangan persediaan senjata nuklir mereka di bawah kontrol internasional. Ketiga, negara penandatangan NPT mempunyai hak menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Dengan berdasar pilar ketiga inilah tampaknya Iran ingin mengembangkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka.

Dari catatan ini terlihat bahwa sah-sah saja jika Iran ngotot dengan pengembangan nuklirnya. Apalagi di Asia ada beberapa negara yang sudah mengembangkan nuklir. Bahkan mereka sudah mengembangkan senjata nuklir, yaitu India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. India pertama kali melakukan percobaan senjata nuklirnya pada tahun 1974. Pakistan melakukan hal yang sama pada tahun 1998. Diperkirakan India mempunyai lebih dari 150 hulu ledak nuklir. Pakistan mempunyai sekitar 60 hulu ledak nuklir. Sedangkan Israel yang mengembangkan senjata nuklir di wilayah Dimona, Nagev, sejak tahun 1958, mempunyai simpanan senjata nuklir cukup banyak, 100-200 hulu ledak nuklir nuklir.

Namun sikap dunia internasional, khususnya AS, terhadap negara-negara ini berbeda dengan sikap terhadap Iran. Jika kepada empat negara Asia dan Israel, AS melemah, tapi khusus bagi Iran negara adidaya itu melakukan pendekatan terhadap pemegang veto DK PBB untuk memberikan sanksi. Resolusi DK PBB Nomor 1737 yang dikeluarkan pada 23 Desember 2006 adalah keberhasilan AS.

Indikasinya, salah satu klausul dalam resolusi tersebut adalah keharusan Iran untuk menghentikan kegiatan pengayaan uranium dalam 60 hari setelah resolusi. Bila tidak, maka akan ada sanksi, tetapi tidak disebutkan sanksi militer.

Berpedoman pada pilar ketiga NPT, maka Iran tidak mau menghentikan pengayaan itu. Akibat sikap Iran itu, maka AS bersama sekutunya semakin meningkatkan tekanan dan hasilnya adalah DK PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1747. Sayangnya, Indonesia yang katanya punya sikap politik luar negeri bebas aktif, ternyata juga ikut-ikut memberi dukungan terhadap resolusi itu. (***)

Minggu, 02 Desember 2007

Bukan Sembarang Waria

Komunitas Bissu di Bone (1)



BADANNYA memang kekar, namun, langkah dan gerak-geriknya lemah-gemulai bak wanita. Itulah bissu. Namun, jangan sekali-kali menyebut dan memanggil mereka waria, mereka tidak suka, bisa-bisa Anda akan dilempari dengan sandal. Begitulah peringatan seorang teman yang mengerti betul soal bissu.

LAPORAN: ASWAD SYAM

ANGEL membenahi peralatan pengantinnya saat saya bertandang ke kediamannya di Jl Pisang, Kelurahan Macege, Tanete Riattang Barat, Bone, awal September 2007 lalu. Maklum, waria yang memiliki nama asli Syamsul Bahri ini, di samping sebagai bissu, juga berprofesi sebagai "wedding organizer" di Bone. Tidak sedikit pasangan pengantin yang menggunakan jasanya untuk didandani agar kelihatan cantik saat duduk di pelaminan.

Bissu umumnya memiliki pengetahuan soal mantra pemikat, seperti, "naga sikoi" dan "cenning rara". Angel merupakan satu-satunya di Bone yang sudah menjalani prosesi dan ritual untuk menjadi bissu. Menurutnya, seorang bissu bukanlah waria sembarangan. Secara fisik dan gerak-gerik kata dia, bissu memang mirip dengan waria lainnya.

Namun dari sisi perilaku, mereka sangatlah berbeda. Untuk menjadi bissu kata Angel, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang, dan harus betul-betul panggilan nurani, juga seorang waria harus siap meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Agar mental itu betul-betul siap, seorang waria diharuskan magang di bissu-bissu tua yang digelari Puang Matoa atau Puang Lolo.

Setelah mentalnya siap menjadi bissu lanjut Angel, barulah dia menjalani prosesi Irebba (dibaringkan), yang dilakukan di loteng bagian depan pada Rumah Arajang. Waria yang akan dilantik menjadi bissu kata Angel, diwajibkan berpuasa selama sepekan hingga 40 hari. Setelah itu, bernazar (mattinja') untuk menjalani irebba selama beberapa hari, biasanya tiga atau tujuh hari. Lalu dia dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air.

Selama disemayamkan sesuai nazarnya, calon bissu dianggap dan diperlakukan sebagai orang mati. Pada hari yang dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang sedang irebba. Setelah melewati ritual sakral itu, seorang waria resmi menjadi bissu. Sejak itu, seorang bissu tampil anggun (malebbi) dan senantiasa berlaku sopan.

"Saat itu juga, bissu yang baru menyelesaikan prosesi irebba, akan mendapatkan nama langit," ungkap Angel yang memiliki nama langit Sessung Riu'.

Bissu adalah sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno, sebelum pengaruh Islam masuk. Bissu, berasal dari kata Bessi, yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih.

Pada masa kerajaan Bone, Bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis. Sebagai penasihat spiritual kerajaan, seorang Bissu bukanlah orang sembarangan. Setelah resmi menyandang gelar Bissu, seseorang mulai belajar. Di antaranya mempelajari berbagai mantera, serta harus menguasai 40 cara melipat daun sirih (rekko' ota patappulo). Juga harus menguasai "memmang" (bahasa dewata), karena sebagai penasihat spiritual kerajaan, bissu bertugas menghubungkan alam manusia dengan alam dewata.

Sejatinya, lanjut Angel, walaupun Bissu ini adalah lelaki yang memiliki figur feminin, namun tidak boleh identik dengan perempuan. Sehingga unsur lelaki harus tetap ada, seperti memelihara janggut. Anting tetap boleh dipakai, namun ketika melakukan upacara ritual, anting itu harus dilepas. (*)