Jumat, 30 November 2007

Tiga Kebesaran Warisan Syekh Mukmin

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (1)

MASJID Assyuhada, Alquran tulisan tangan, dan makam Syekh Haji Mukmin, menjadi penanda kebesaran Bugis di salah satu gugusan Pulau Dewata.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

INTRO lagu "Welcome to My Paradise" milik Steven and Coconut Treez melantun manis dari sebuah radio transistor penduduk ketika Fajar menjejakkan kaki di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Bali, Sabtu 8 Mei lalu. Pulau ini memang seolah menjadi surga bagi orang-orang Bugis dan pemeluk Islam di seantero rangkaian Pulau Dewata.

Berpasir putih dan menjadi idola para surfer (peselancar, Red) di musim hujan. Antara bulan Oktober hingga April, angin timur membuat gulungan ombak di pulau sebelah selatan Bali ini membangkitkan andrenalin surfer. Tapi di musim kemarau seperti sekarang, pulau ini ditinggalkan peselancar yang beralih ke Pantai Kuta.

Di Serangan, agama Hindu yang didominasi penduduk sangat tidak terasa. Rangkaian waktu lebih dari tiga abad telah membuat proses asimilasi antaragama di pulau ini sangat cair. Nyaris tak ada perbedaan antarsuku dan antaragama. Terutama antara warga keturunan Bugis dengan penduduk asli Bali yang menganut Hindu. Mereka hidup rukun, damai, dan tentram di satu perkampungan bernama Kampung Bugis.

Di pulau ini, hasil asimilasi bukan lagi sekadar tegur sapa. Namun penetrasinya lebih tajam lagi hingga ke rumah tangga. Usman, pria keturunan Soppeng yang lahir pada 1973 di Serangan misalnya. Sudah sebelas tahun Usman hidup rukun dengan istrinya yang asli Bali. Mereka menikah 1996 dan sudah dikarunia dua anak.

"Sebelum menikah, istri saya bernama Made Rentik. Tapi saat menikah, dia muallaf dan berganti nama menjadi Aisyah," tutur Usman, sesaat sebelum salat Duhur di Masjid Assyuhada, Serangan.

Sejarah orang-orang Bugis sendiri sudah terukir panjang sebelum Usman didaulat sebagai kepala lingkungan di pulau itu. Adalah Syekh Haji Mukmin yang menandai awal kehidupan cucu Adam dan Hawa di Pulau Serangan pada abad ke-17 atau setelah Kompeni VOC Belanda menguasai Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Rombongan yang dipimpin Syekh Mukmin dikabarkan meninggalkan Gowa lantaran tak mau kompromi dengan VOC. Apalagi ketika itu VOC sangat mengendalikan kehidupan maritim di Gowa dan sekitarnya.

"Syekh Mukmin kemudian berlayar bersama 44 orang setianya hingga terdampar di ujung timur Pulau Serangan," ungkap Mochammad Mansyur, 67, sesepuh Kampung Bugis, saat Fajar bertandang ke kediamannya. Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung, Cokarde Gombrang, yang menguasai Pulau Serangan.

Kelompok Syekh Mukmin diundang ke istana raja dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Mengetahui Syekh Mukmin berasal dari Gowa, Raja Badung bersimpati dan mengizinkan mereka bermukim di Desa Telagigendong. Dengan catatan, setiap saat kelompok Syekh Mukmin wajib membantu Raja Badung.

Hidup di Telagigendong yang jauh dari pantai ternyata membuat tak nyaman kelompok Syekh Mukmin. Alasannya sederhana, mereka adalah pelaut. Maka kali kedua, Syekh Mukmin meminta agar Raja Cokarde Gombrang mengizinkan mereka pindah ke daerah pesisir.

Permintaan ini dipenuhi dan Cokarde menunjuk Pantai Serangan sebagai tempat tinggal kelompok Syekh Mukmin. Suatu ketika pasukan Raja Cokarde Gombrang kesulitan menaklukkan pasukan Desa Mangui yang dikenal kebal senjata. Cokarde kemudian menantang pasukan Bugis yang dipimpin Syekh Mukmin untuk menghadapi pasukan Mangui. Hasilnya menakjubkan, sekalipun hanya berkekuatan 45 orang, namun pasukan Bugis bisa menang bahkan berhasil membunuh Raja Mangui.

Sukses menaklukkan Mangui ini juga menjadi cikal-bakal munculnya nama Serangan. Nama ini terkait dengan pola penyerangan tiba-tiba yang dilancarkan pasukan Mukmin ke Mangui.

"Sebagai hadiah, Raja Cokarde Gombrang kemudian menyerahkan Pulau Serangan kepada orang-orang Bugis. Tapi Raja meminta agar tanah dan pulau ini tidak diperjualbelikan," papar Mansyur yang sehari-hari bertindak sebagai imam Masjid Assyuhada.

Satu hal yang sulit ditelusuri saat ini adalah mencari turunan langsung dari Syekh Mukmin. Walaupun Syekh Mukmin dimakamkan di pulau ini, namun tak ada yang mampu menjelaskan silsilahnya. Penduduk setempat juga tak ada yang menyatakan bahwa Syekh Mukmin pernah menikah dan beranak-pinak sebagai garis keturunan langsung.

Sementara penduduk Bugis Serangan yang ada saat ini adalah turunan dari anak buah atau kerabat Syekh Mukmin. Semisal Marjuki, 66, pria yang mendapat tugas merawat Alquran Abad 17 tulisan tangan. Marjuki adalah turunan langsung kedua dari Syekh H Alwi, pemilik dari alquran tersebut. Ada juga H Ahmad Sastra yang kini bermukim di samping Masjid Sangla, Denpasar. (Bersambung)

Tidak ada komentar: