Jumat, 30 November 2007

Alquran Tua dan Ritual 9 Muharram

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (2)

SETIAP 9 Muharram, umat muslim Pulau Serangan menggelar ritual dengan mengarak Alquran tua mengelilingi Kampung Bugis. Katanya, sebagai penolak bala.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

ALQURAN tulisan tangan yang saat ini "dirawat" Marjuki adalah satu dari tiga "pusaka" orang Bugis di Serangan. Karena usianya yang sudah memasuki abad keempat, maka kitab suci kaum muslim ini hanya dikeluarkan pada saat tertentu saja. Bahkan dengan alasan keamanan, Alquran ini terpaksa dipindah dari Masjid Assyuhada ke rumah Marjuki, pada 1999.

Saat BJ Habibie, mantan Presiden RI, meminjam alquran ini untuk dipamerkan di Masjid Istiqlal Jakarta, para peneliti menyatakan bahwa kitab suci ini dibuat pada Abad 17. Bahannya juga bukan dari kertas tapi kulit kayu.

Kondisi alquran itu sendiri hingga kini masih utuh 30 juz. Tebalnya 10 centimeter dengan ukuran seperti Alquran lainnya. Kulit luar berbahan plastik agak tebal warna hijau. Cukup jelas terlihat bahwa Alquran ini ditulis tangan dengan tinta hitam dan tinta merah untuk setiap kalimat "Bismillahirahmanirahim".

Ada dua versi tentang asal-usul Alquran ini. Menurut Mochammad Mansyur, 67, khatib sekaligus imam Masjid Assyuhada, Alquran ini dibawa Syekh Haji Mukmin dari Gowa. Sedang Marjuki mengatakan, alquran ini dibawa Haji Alwi dari Kalimantan. Namun tak ada bukti otentik yang bisa memperkuat kedua versi itu.

Haji Alwi sendiri tak lain adalah kakek kandung Marjuki. Dia datang ke Serangan setelah Syekh Haji Mukmin membangun kehidupan di pulau ini. Setelah Haji Alwi wafat, Alquran ini kemudian diwariskan kepada Siddiq, ayah kandung Marjuki.

Baik Mansyur maupun Marjuki juga tak bisa memastikan siapa penulis atau pembuat dari Alquran tersebut. "Setahu saya, Haji Alwi yang pelaut membawanya (Alquran itu) dari Kalimantan, dari Pontianak. Dia selalu keliling nusantara membawa Alquran ini hingga sampai di Serangan," tutur Marjuki saat memperlihatkan Alquran tua yang selalu terbungkus kain hijau diikat pita merah itu kepada Fajar.

Leluhur Marjuki berasal dari Wajo, Sulsel, termasuk H Alwi. Marjuki sendiri lahir di Serangan namun sangat fasih menggunakan bahasa Bugis. Masyarakat Bugis dan penduduk muslim lainnya di Kampung Bugis mempercayakan Marjuki untuk merawat alquran tua itu dengan alasan turun-temurun. Hal ini juga seolah menjadi pengakuan tidak langsung dari muslim Serangan jika alquran itu memang "milik" Haji Alwi.

Penduduk Kampung Bugis Serangan punya tradisi mengarak Alquran tulisan tangan ini keliling kampung setiap 9 Muharram. Alquran ini diarak sebanyak tiga kali. Beberapa tahun sebelumnya, ritual ini digelar pada tanggal 1,2, dan 3 Muharram berturut-turut tiga hari. Setiap hari diarak sekali keliling kampung.

"Ini dilakukan untuk menolak bala. Sekarang hanya diarak pada 9 Muharram tapi langsung tiga kali keliling kampung. Dipindah ke 9 Muharram untuk mendekatkan ke Hari Asyura, 10 Muharram," kata Mansyur yang dibenarkan Marjuki.

Jika ritual ini digelar, arak-arakan bukan hanya diikuti warga muslim saja. Umat Hindu yang mendominasi Serangan juga turut serta. Bahkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI yang mengaku memiliki nama Islam sebagai Abdullah juga tak pernah absen.

Umat Hindu dan orang Bali memberi apresiasi positif terhadap ritual ini. Orang Bali memanggil orang Islam Bugis sebagai "Nyama Selam" (saudara Islam, Red). Sungguhpun berlainan agama, mereka saling menghormati antara satu sama lain. Contohnya, semasa Nyepi orang Hindu, orang Islam tidak memasang pembesar suara di masjid mereka.

*****

DI Serangan, perkampungan Hindu dengan 73 keluarga muslim di Kampung Bugis tersekat dinding tembok setinggi 1,5 meter. Walaupun demikian, secara fisik masyarakat muslim dan Hindu tidak terpisah oleh dinding itu. Mereka tetap bergaul antara satu sama lain. Semisal melaut atau membuat kerja-kerja bakti bersama. “Kami tidak mempunyai masalah dalam kehidupan sosial harian kami,” kata Iskandar, pengurus Masjid Assyuhada.

Sehari-hari, asimilasi budaya juga menembus bahasa. Orang-orang Bugis tetap bertutur bahasa Bugis tapi juga sangat fasih bercakap dalam bahasa Bali. Ada juga beberapa orang Bali yang memeluk agama Islam, bahkan menikah dengan pria Bugis.

Di kala lepas Magrib, anak-anak muslim juga dengan bebasnya pergi mengaji di masjid. Tak jarang mereka "dikawal" teman mainnya yang beragama Hindu.

Pemeluk Hindu juga demikian adanya. Mereka mengaku sangat nyaman beribadah di empat pura besar yang ada di Serangan. Kebetulan, keempat pura ini: Pura Dalam Sakenan, Pura Dalam Susunan, Pura Khayangan Tiga (hanya 150 meter dari Masjid Assyuhada), dan Pura Cemara, termasuk gugusan pura purbakala.

"Kalau Nyepi, pemuda muslim yang jaga kampung. Sangat nyaman, Mas" ujar Gede, pemuda asal Sanur yang membawa Fajar ke Pura khayangan Tiga. (Bersambung)

1 komentar:

jed mengatakan...

saya juga punya al-quran tua