Selasa, 27 November 2007

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (3-Habis)

Sang Asisten Sekadar Pembantu

DARI pemeriksaan awal hingga akhir, seluruh penanganan medis dilakukan dokter sesuai keahliannya. Sang asisten sebatas membantu penyediaan alat.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

BERBEDA dengan rumah sakit atau klinik yang ada di Indonesia, kelompok rumah sakit Parkway tak mengizinkan asisten dokter melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Sekalipun hanya memasukkan serum ke dalam tubuh. Pasien hanya ditangani dokter sesuai keahliannya.

Widjaja Luman, dokter spesial saluran pencernaan di Mount Elizabeth mengakui hal ini. Bahkan ketika penulis berkesempatan melihat proses endoskopi di klinik Widjaja, sang asisten hanya mendapat tugas; membersihkan, menyediakan, dan mengatur alat penunjang lain.

Padahal sumber daya manusia para asisten dokter di RS ini juga tak meragukan. Setidaknya, setara dengan dokter-dokter nonspesialis. Sebab sejatinya, status mereka memang sudah dokter. Tapi karena aturan Parkway yang mewajibkan pasien ditangani langsung dokter spesialis, membuat peran asisten sebatas menjadi tenaga pembatu dokter spesialis.

Tentu saja, ini yang sangat kontras dengan peran asisten dokter di Indonesia. Malah, di sebagian rumah sakit atau klinik di Makassar, peranan asisten dokter jauh lebih besar. Para asisten malah ‘leluasa’ melakukan ‘praktikum’ langsung terhadap pasien. Bisa menyuntik, menulis resep obat, bahkan ada yang ikut melakukan pembedahan alias operasi.

Pembatasan kerja asisten dokter juga berlaku di intensive care unit (ICU). Sama di perawatan lainnya, di ruang gawat darurat pun hanya dokter-dokter spesialis yang diperkenankan melakukan pengobatan langsung terhadap pasien. Semisal, hanya dokter ahli bedah tulang yang mendapat izin untuk menangani pasien kecelakaan.

Melihat kondisi ini, penulis teringat saat sebuah kecelakaan menimpa seorang teman enam tahun lalu. Korban kemudian dibawa ke rumah sakit terbesar dan terlengkap di Makassar.

Sampai di ICU, para tim medis yang bertugas segera mempersiapkan pertolongan pertama. Ada yang menyuntik, ada juga yang membersihkan luka-luka di tubuh korban. Setelah pertolongan selesai, saya baru tahu kalau mereka adalah dokter co-ast. Para ‘dokter’ ini dibantu siswa Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang sedang menjalani masa magang.

Kembali ke Parkway, ketentuan seperti ini mutlak berlaku, baik di Mount Elizabeth Hospital maupun di Gleneagles dan East Shore Hospital. Masing-masing rumah sakit ini memiliki dokter sendiri. Tapi untuk penanganan tertentu, Parkway Hospital akan memperbantukan tenaga medis dari salah satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang satu grup dengan mereka.

Dari tiga rumah sakit Parkway di Singapura, adalah Mount Elizabeth Hospital yang memiliki jumlah dokter terbanyak. Chairman Parkway Holdings Ltd, Richard Seow, melaporkan bahwa ada seribu dokter di Mount Elizabeth yang siap melayani perawatan umum. Sedang untuk tenaga ahli, rumah sakit ini punya 300 dokter ahli.

Teknologi terkemuka dan teranyar untuk pengobatan kanker juga berada di rumah sakit ini. Mount Elizabeth adalah rumah sakit pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas TomoTherapy Hi Art System. Dengan alat ini, kanker tidak akut bisa dimusnahkan hanya dalam tempo 20 menit.

“Dengan Tomotherapy, pengobatan kanker dilakukan langsung di sarangnya, tanpa merusak bagian tubuh yang lain. Dibanding kemoterapi, Tomotherapy jauh lebih sempurna,” papar onkologis, pakar spesialis kanker, Dr Ang Peng Tiam.

Tak hanya itu, Mount Elizabeth juga memiliki PET Scan, alat yang mampu memperlihatkan letak, struktur, dan anatomi suatu organ atau jaringan kanker serta mengenali metabolismenya. Dengan alat ini, para dokter bisa mendeteksi letak dan karakter kanker, sehingga bisa dihancurkan dengan akurat.

Selain Tomotherapy dan PET Scan, masih banyak layanan kesehatan lainnya yang tersedia di Mount Elizabeth. Mulai dari anastesi, kardiologi, dental surgery, dermatalogi, diabetes, diagnosa radiology, endokrinologi, gastroenterologi, hingga transplant. (*)

Tidak ada komentar: