Jumat, 30 November 2007

Ketika Penyu tak Lagi Berlabuh

BUYUNGMAKSUM/FAJAR

*Pesiar Jurnalistik ke Kampung Bugis di Pulau Serangan, Bali (3-Selesai)

LARANGAN penangkapan dan perdagangan penyu membuat nadi ekonomi orang Bugis Serangan merosot tajam. Ikan-ikan hias juga menghilang sejak pulau direklamasi.

LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

SEBELAS tahun lalu, Serangan masih terlepas utuh dari Pulau Bali. Antara kedua pulau ini dipisah oleh selat sepanjang satu kilometer. Ketika itu, satu-satunya rute menuju Serangan adalah melalui Pelabuhan Benoa dengan menggunakan speedboat sekitar 15 menit.

Hingga tahun 1996, orang Bugis Serangan terkenal sebagai pemburu penyu terkenal. "Saya cari penyu sampai di Buton. Saya jual berapapun pasti laris," kenang Marjuki, pria Wajo yang lahir, besar, dan membina rumah tangga di Serangan.

Menurut Marjuki, daging penyu merupakan makanan favorit orang Bali. Selain itu, kulit penyu juga diolah menjadi hiasan menarik dan bernilai mahal. Hasil tangkapan penyu nelayan-nelayan Bugis ini dijual ke pengusaha-pengusaha seantero Bali.

Namun setelah puluhan tahun, berkah dari penyu harus berakhir. Pada akhir 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan penangkapan dan perdagangan penyu. "Kalau berani jual penyu, barang disita, kami dipenjara 10 tahun," papar Mansyur, tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya juga berprofesi sebagai penangkap penyu.

Untuk bertahan hidup, orang-orang Bugis Serangan kemudian mencoba beralih ke ikan hias yang ada di pesisir pulau. Alih target seperti inilah yang dilakoni Usman, pria kelahiran Serangan pada 1973 dan mengaku leluhurnya berasal dari Soppeng. Kebetulan, Usman memiliki kemampuan menyelam seperti nelayan-nelayan Bugis di Sulsel.

Sayang, semua denyut ekonomi nelayan Bugis Serangan sulit di tahun 1996. Ketika itu PT Bali Turtle Island Development (BTID) melakukan reklamasi tujuan pembangunan kawasan perhotelan dan wisata di Pulau Serangan. Reklamasi ini membuat area Serangan bertambah dari 112 hektare menjadi 481 hektare.

Tanpa disadari, dampak reklamasi ternyata berimbas pada ikan-ikan hias yang menghidupi Usman dan kawan-kawan. Reklamasi telah merusak keaslian lingkungan di pulau itu. Terutama kawasan hutan mangrove. Akibatnya, ikan hias yang hidup di sekitar mangrove harus menjauh ke tengah laut untuk bertahan hidup.

Usman dan penangkap ikan hias lainnya tak punya pilihan. Mereka terpaksa menghentikan profesi sebagai penangkap ikan hias. Pola hidup masyarakat Bugis pun banyak yang mulai berubah dari laut bergeser ke daratan. Sejumlah pria Bugis kemudian beralih ke sektor pariwisata nonbahari seperti membuka biro-biro perjalanan. Kalaupun ada yang mencoba bertahan hidup, itu karena memang tak ada pilihan.

Dampak reklamasi juga mengubah jalur transportasi menuju dan dari Pulau Serangan. Reklamasi yang tidak pernah tuntas lantaran lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto itu memang telah membuka jalur darat Sanur-Serangan. Tak lagi melalui Pelabuhan Benoa.
Kedua daratan yang dulu sebelas tahun lalu masih terpisah ini kini dihubungkan sebuah jalan beraspal hotmix mulus sepanjang satu kilometer. Lebar jalan yang mirip jalan tol di Makassar ini sekitar 15 meter dan terbagi empat lajur.

Saat ini, untuk mencapai Serangan tak perlu lagi memanfaatkan jasa speedboat. Naik taksi sekalipun sudah bisa nangkring di depan lorong masuk ke Masjid Assyuhada. Melalui darat, cukup 20 menit dari Kota Sanur untuk mencapai Kampung Bugis di Serangan. Sementara dari Kota Kuta sekitar 30 menit.

Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI, sendiri tak ragu jika penyatuan Pulau Serangan dengan daratan Bali ini akan mengubah kultur budaya Bugis yang hidup di daerah itu. Ida memastikan warga Bugis Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut; walaupun air laut asin, tapi ikan tidak asin. (***)

Tidak ada komentar: