Selasa, 27 November 2007

- Catatan dari Parkway Hospital Singapura (1)

Jalani Endoskopi Sambil Bercakap

ENDOSKOPI bukan lagi hal menakutkan. Sekalipun selang ‘mengobrak-abrik’ di bagian dalam tubuh, pasien tetap terjaga, bercanda, bahkan sama sekali tak merasa kesakitan.


LAPORAN: BUYUNG MAKSUM

TAK terlihat kecemasan atau rasa sakit di wajah Suh Thong Hwan saat terbaring di salah satu bilik periksa di lantai sembilan Mount Elizabeth Hospital Singapura. Padahal, saat itu, sebuah selang berdiameter 1,5 cm sedang ‘bergerilya’ di usus 12 jari miliknya.

Sesekali, Suh malah bercakap dengan Dr Widjaja Luman, seorang consultant gastroenterologist and general physician, tepatnya ahli penyakit pencernaan atau hepar dan penyakit dalam di Mount Elizabeth Hospital. Intinya, pria yang sudah berumur 51 tahun itu tetap dalam posisi sadar penuh.

Dalam dunia medis, endoskopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan endoskop. Sedang endoskop adalah sebuah teropong untuk memeriksa rongga di dalam pembuluh, saluran dan liang yang sempit di beberapa bagian tubuh.

Saat ini, perangkat untuk endoskopi milik Widjaja Luman adalah satu-satunya sekaligus paling modern di Asia Tenggara. Di klinik atau rumah sakit lain, endoskopnya masih berupa selang diameter 2,5 cm dan dimasukkan melalui mulut atau anus.

Sedang endoskop milik Widjaja Luman dimasukkan ke tubuh melalui lubang hidung. Dengan cara ini, pasien lebih leluasa untuk berbicara. Pasien juga tak perlu menjalani pembiusan dan saa sekali tak tersentuh jarum suntik. Selama endoskopi berlangsung, pasien tetap sadar. Dia cuma merasa agak kembung.

“Sebenarnya, ini teknologi yang masih sederhana, belum hightech,” ungkap Widjaja Luman, saat ditemui Fajar di kliniknya, di Mount Elizabeth Hospital, Senin lalu.

Saat Suh menjalani endoskopi, seluruh isi perutnya terlihat jelas. Di layar monitor terpampang bagaimana lekak-lekuk usus, ginjal, dan saluran pembuangan milik Suh.

Untuk menjalani pemeriksaan endoksopi check up lemak seperti ini, Suh harus merogoh kantung sebesar 220 dolar Singapura (saat ini SD1 setara dengan Rp5.900, red).

Widjaya melaporkan, selama ini pasien terbesarnya berasal dari Indonesia termasuk Sulsel. Taksirannya mencapainya 60 persen, ditambah 30 persen warga Singapura, selebihnya adalah para ekspatriat.

Hanya saja, Widjaja tak bias membeberkan nama pasien asal Indonesia yang sudah berobat atau menjalani check up di kliniknya. Maklum, di bernaung di bawah bendera Mount Elizabeth Hospital, rumah sakit yang dikenal sangat ketat menjaga privacy pasiennya. (bersambung)

Tidak ada komentar: